Sejak dilanda krisis, situasi Indonesia semakin tidak menentu. Perkembangan demokrasi bisa dinilai cukup berhasil. Ya demokrasi yang berpijak hanya pada tataran ide dan wacana. Selebih tidak. Semua persoalan, di negeri ini, bisa ditanggapi dengan bebas selagi masih ilmiah dan tidak termasuk character assasination alias pembunuhan karakter.
Namun, semua itu hanya berkutat pada diskursus yang mengawang dan tak menyentuh bumi ini. Alhasil, hampir semua stickholder di segala lapisan, yang kebijakannya diriibutkan sibuk membela diri dan terus berargumentasi bahwa yang mereka lakukan adalah benar. Waktu yang bergulir terus mengiris hari hingga menjadi minggu, bulan dan tahun.
Apa hasilnya? Nol besar.
Sebuah kisah nyata dari negeri yang pernah mahsyur di tangan Gajah Mada dengan sumpah palapa yang terkenal dan berhasil menyatukan nusantara ini. Kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Seluruh jajaran pemerintah, terus berkampanye agar kebijakan ini bisa diterima rakyat dengan alih-alih bahwa kenaikan BBM adalah sebuah keharusan karena harga minyak dunia terus meroket. Kalau tidak, viskal kita akan ambruk. Kampanye juga dilakukan dengan terus menyebutkan bahwa kebijakan subsidi dialihkan, dari minyak menjadi subsidi (gratis) sekolah, kesehatan. Agar kenaikan BBM direstui 200 juta rakyat, pemerintah bilang, BBM untuk rakyat miskin tetap disubsidi.
Benarkah disubsidi? Menurut saya, pada nyata tidak. Lihatlah harga minyak yang sampai ke masyarakat miskin. Dari harga yang ditetapkan pemerintah maksimal Rp 900 per liter, berubah sampai Rp 1700 per liter. Di mana subsidi itu? Tak ada pilihan lain bagi rakyat jelata kecuali terpaksa menerima.
Masih banyak hal lain berubah hanya pada tataran wacana. Kartu miskin yang tidak berlaku untuk berobat. Susahnya mendapatkan potongan harga perawatan, apalagi untuk bebas biaya. Makanya, tak heran, di kampung-kampung, dusun-dusun yang adanya di pelosok negeri ini, rakyat jelata lebih memilih datang ke dukun (tabib, tukang urut dan lain sebagainya) ketimbang ke puskesmas, rumah sakit yang harganya melangit. Apalagi kalau datang tanpa ada yang menjamin. Bisa dipastikan si penderita dibiarkan terbaring menunggu ajal tanpa ada yang mau menyentuh dengan alasan tidak ada yang bisa menjamin pembayaran pengobatan.
Masih ingat kasus boca SD yang bunuh diri dengan melilitkan kabel telpon umum. Cuma gara-gara minta uang untuk bayaran kepada ayahnya dan tidak dikasih, si anak itu frustrasi dan bunuh diri. Tapi ketahuan, dan bisa diselamatkan meski kondisinya sekarang ini jadi tidak normal.
Yang paling baru, gara-gara tak kuasa menahan kefakiran, seorang ibu mengakhiri hidupnya bersama anak bungsunya. Dengan terlebih dulu menggantungkan si bungsu dan baru mengantung dirinya si ibu yang papa itu bunuh diri. Kabarnya, setahun yang lalu juga si ibu pernah berusaha bunuh diri dengan menyiramkan bensin ke tubuhnya dan anaknya. Namun lantaran ketahuan warga sekitar, bunuh diri itu bisa digagalkan.
Saya berharap tidak ada lagi yang menyusul mati gara-gara tak kuasa hidup menderita.
Di mana fungsi negara? Bukankah negara dibentuk untuk menjaga sirkulasi kebutuhan masyarakatnya? termasuk dari kepapaan. Bukankah juga dalam UUD 1945 yang telah diamandeman dan sangat diakui kesakralannya itu disebutkan bahwa negara menjamin kehidupan warganya; mendapatkan hidup yang layak, bekerja, sekolah dan lain sebagainya. Bukankah orang miskin dan rakyat terlantar "dipelihara" oleh negera?
Kalau saja kata dipelihara yang saya kasih tanda kutip itu betul sakral seperti kesakralan UUD 45, maka berdosa besar suatu pemerintahan yang memimpin negeri ini karena tak menjalankannya. Karena telah membiarkan warganya hidup miskin hingga frustrasi dan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Bukankah subsidi adalah salah satu cara negara menghidupi orang miskin seperti yang ditulis dalam kitab yang sakral itu. Lalu kenapa subsidi dihapus? Bukankah itu pelanggaran besar karena telah menyelewengkan perintah yang ditulis dalam kitab sakral yang perubahannya harus melibatkan 700 orang dan menghabiskan miliaran rupiah untuk bersidang. Na'udzubillah.
Semoga tak ada lagi rakyat yang bunuh diri karena kepapaan karena negeranya menjalankan perintah kitab sakral itu. Semoga.
Namun, semua itu hanya berkutat pada diskursus yang mengawang dan tak menyentuh bumi ini. Alhasil, hampir semua stickholder di segala lapisan, yang kebijakannya diriibutkan sibuk membela diri dan terus berargumentasi bahwa yang mereka lakukan adalah benar. Waktu yang bergulir terus mengiris hari hingga menjadi minggu, bulan dan tahun.
Apa hasilnya? Nol besar.
Sebuah kisah nyata dari negeri yang pernah mahsyur di tangan Gajah Mada dengan sumpah palapa yang terkenal dan berhasil menyatukan nusantara ini. Kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Seluruh jajaran pemerintah, terus berkampanye agar kebijakan ini bisa diterima rakyat dengan alih-alih bahwa kenaikan BBM adalah sebuah keharusan karena harga minyak dunia terus meroket. Kalau tidak, viskal kita akan ambruk. Kampanye juga dilakukan dengan terus menyebutkan bahwa kebijakan subsidi dialihkan, dari minyak menjadi subsidi (gratis) sekolah, kesehatan. Agar kenaikan BBM direstui 200 juta rakyat, pemerintah bilang, BBM untuk rakyat miskin tetap disubsidi.
Benarkah disubsidi? Menurut saya, pada nyata tidak. Lihatlah harga minyak yang sampai ke masyarakat miskin. Dari harga yang ditetapkan pemerintah maksimal Rp 900 per liter, berubah sampai Rp 1700 per liter. Di mana subsidi itu? Tak ada pilihan lain bagi rakyat jelata kecuali terpaksa menerima.
Masih banyak hal lain berubah hanya pada tataran wacana. Kartu miskin yang tidak berlaku untuk berobat. Susahnya mendapatkan potongan harga perawatan, apalagi untuk bebas biaya. Makanya, tak heran, di kampung-kampung, dusun-dusun yang adanya di pelosok negeri ini, rakyat jelata lebih memilih datang ke dukun (tabib, tukang urut dan lain sebagainya) ketimbang ke puskesmas, rumah sakit yang harganya melangit. Apalagi kalau datang tanpa ada yang menjamin. Bisa dipastikan si penderita dibiarkan terbaring menunggu ajal tanpa ada yang mau menyentuh dengan alasan tidak ada yang bisa menjamin pembayaran pengobatan.
Masih ingat kasus boca SD yang bunuh diri dengan melilitkan kabel telpon umum. Cuma gara-gara minta uang untuk bayaran kepada ayahnya dan tidak dikasih, si anak itu frustrasi dan bunuh diri. Tapi ketahuan, dan bisa diselamatkan meski kondisinya sekarang ini jadi tidak normal.
Yang paling baru, gara-gara tak kuasa menahan kefakiran, seorang ibu mengakhiri hidupnya bersama anak bungsunya. Dengan terlebih dulu menggantungkan si bungsu dan baru mengantung dirinya si ibu yang papa itu bunuh diri. Kabarnya, setahun yang lalu juga si ibu pernah berusaha bunuh diri dengan menyiramkan bensin ke tubuhnya dan anaknya. Namun lantaran ketahuan warga sekitar, bunuh diri itu bisa digagalkan.
Saya berharap tidak ada lagi yang menyusul mati gara-gara tak kuasa hidup menderita.
Di mana fungsi negara? Bukankah negara dibentuk untuk menjaga sirkulasi kebutuhan masyarakatnya? termasuk dari kepapaan. Bukankah juga dalam UUD 1945 yang telah diamandeman dan sangat diakui kesakralannya itu disebutkan bahwa negara menjamin kehidupan warganya; mendapatkan hidup yang layak, bekerja, sekolah dan lain sebagainya. Bukankah orang miskin dan rakyat terlantar "dipelihara" oleh negera?
Kalau saja kata dipelihara yang saya kasih tanda kutip itu betul sakral seperti kesakralan UUD 45, maka berdosa besar suatu pemerintahan yang memimpin negeri ini karena tak menjalankannya. Karena telah membiarkan warganya hidup miskin hingga frustrasi dan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Bukankah subsidi adalah salah satu cara negara menghidupi orang miskin seperti yang ditulis dalam kitab yang sakral itu. Lalu kenapa subsidi dihapus? Bukankah itu pelanggaran besar karena telah menyelewengkan perintah yang ditulis dalam kitab sakral yang perubahannya harus melibatkan 700 orang dan menghabiskan miliaran rupiah untuk bersidang. Na'udzubillah.
Semoga tak ada lagi rakyat yang bunuh diri karena kepapaan karena negeranya menjalankan perintah kitab sakral itu. Semoga.
kritis, konstruktif dan solutif