Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan peluang kekuasaan dan tanggung jawab yang lebih besar pada pemerintah di tingkat kabupaten dan kota. Pengesahan kedua perangkat peraturan perundang-undangan itu memicu pembuatan peraturan daerah-peraturan daerah (perda) di seluruh wilayah Indonesia. Banyak daerah kabupaten/kota menjadi sangat produktif memproduksi peraturan daerah. Beragam perda dikeluarkan, mulai dari aturan tentang jam malam bagi perempuan (Tangerang), jam belajar siswa SD hingga SMA (Bekasi) dan lain-lain.
Selain perda-perda yang mengatur tata kehidupan, banyak daerah kabupaten/kota juga mengeluarkan perda tentang pajak daerah, retribusi dan sumber pendapatan daerah lainnya. Di antara contoh perda yang mengatur sumber pendapatan pemerintah daerah adalah perda pemungutan retribusi bagi perkawinan kuda dan penyedotan tinja (Solok), pemotongan hewan (Solok dan Tasikmalaya), pedagang di pasar, pemotongan ayam dan pengguna layanan becak (Tasikmalaya), juga pajak salon, hotel dan restoran (Sukabumi). Tentu masih banyak perda-perda yang lain di daerah kabupaten/kota yang berbeda.
Dalam sistem otonomi daerah, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi fokus penting sebagai penunjang dana operasional pemerintah daerah. Untuk daerah-daerah yang miskin sumber daya (sumber daya alam dan sumber daya manusia) peningkatan pendapatan asli daerah diupayakan sedapat mungkin, bahkan dari berbagai macam sektor kehidupan ekonomi masyarakat sampai tingkat yang terkecil. Peningkatan pendapatan asli daerah harus dilakukan secara legal dengan didasarkan pada peraturan. Karena itu, produktifitas perda di masing-masing daerah otonom dapat dilihat sebagai sesuatu yang positif, yakni sebagai respons untuk menata ulang hubungan kekuasaan yang sentralistis menuju desentralistis.
Dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan yang diatur oleh pusat (tersentralisasi) dan bukan menjadi kewenangan pemerintah daerah (desentralisasi) itu ada lima. Yaitu, politik luar negeri, moneter dan fiscal, pertahanan keamanan, peradilan, agama dan kewenangan di bidang lainnya. Otonomi adalah soal pelimpahan kewenangan dalam membuat keputusan. Di era otonomi daerah, pemerintah daerah mendapat kekuasaan penuh untuk memutuskan sendiri kebijakan pengalokasian anggaran daerahnya. Dengan otonomi diharapkan sebagian besar sumber daya yang selama ini dikelola secara terpusat dialihkan kewenangan pengelolaannya kepada daerah sehingga menjadi lebih optimal.
POKOK PERMASALAHAN
Upaya mengalihkan sistem sentralistis menjadi sistem yang desentralistis sebagai wujud dari otonomi daerah, tidaklah mudah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dalam implementasinya menemukan banyak kendala yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Dari bidang politik masalah yang paling menonjol adalah soal pembagian kewenangan antara Bupati/Walikota dengan Gubernur karena peralihan sejumlah kewenangan itu langsung melompat dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota.
Dalam soal anggaran, ternyata banyak daerah otonom yang tidak bisa menghidupi pemerintahannya sendiri karena kurangnya sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Terlebih, belakangan ini sebelum dilakukan moratorium, pemekaran daerah sangat mudah dan kerap tidak banyak memperhatikan aspek sumber daya alam (faktor ekonomi pendapatan asli daerah) dan sumber daya manusia. Akibatnya, pemerintah daerah yang miskin sumber daya ini hanya menunggu dana perimbangan dan pembantuan dari pemerintah pusat untuk bisa menjalankan roda dan operasional pemerintahan daerah. Padahal, diselenggarakannya otonomi daerah, antara lain juga mestinya mengubah pola alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi, khususnya barang-barang publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota.
Kebijakan otonomi yang mengambil bentuk lompatan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah kabupaten/kota, tidak saja memunculkan masalah politik, tetapi juga masalah ekonomi. Desentralisasi belum berhasil menunjukkan bahwa otonomi menjadikan alokasi dan distribusi barang-barang publik menjadi lebih efisien dan efktif, dan pemerintahan daerah juga belum bisa berjalan optimal dalam pengelolaan sumber-sumber pendapatan daerah. Akibat kegagalan membuat alokasi dan distribusi ekonomi menjadi lebih efisien dan efektif, maka peningkatan kualitas pelayanan publik yang dijanjikan oleh otonomi juga belum bisa dirasakan masyarakat secara signifikan.
Untuk itu perlu dicari akar permasalahan dan solusi bagaimana daerah otonom dan atau daerah baru hasil pemekaran bisa membiayai belanja daerahnya sendiri. Berbagai pertanyaan pun muncul untuk menjawab permasalahan keuangan daerah itu:
Dalam hal daerah otonom baru hasil pemekaran
yang tidak bisa menghidupi pemerintahan daerahnya dapat menerapkan teori
amalgamasi. Teori yang menjelaskan tentang aneksasi, merger dan redivisi suatu
daerah ke (dalam) daerah lain ini memungkinkan suatu daerah yang sudah
terlanjur dimekarkan namun tidak memiliki sumber daya alam (ekonomi) dan sumber
daya manusia yang cukup, bisa tetap beroperasi dan membiayai roda pemerintahan
dengan baik.
Suatu daerah yang tidak prosfektif secara ekonomi, pemerintah
pusat maupun daerah bisa melakukan salah satu atau bahkan menggabungkan dari
ketiga alternatif dalam teori amalgamasi tersebut. Suatu daerah yang sudah
dimekarkan bisa di-merger karena alasan daerah otonom baru itu tidak prospektif
dari berbagai aspek, dan terutama tidak bisa mengurus roda pemerintahan
sendiri. Atau daerah itu menganeksasi daerah lain agar memiliki pendapatan
daerah.
ANALISIS
Arus mendirikan daerah otonom baru (baca: pemekaran daerah) hingga
saat ini masih deras disuarakan oleh para stakeholder daerah-daerah di
Indonesia. Banyak alasan dikemukakan untuk memuluskan aspirasi pemekaran
daerah, baik secara hitoris, sosiologis dan politis. Namun sayang, pemekaran
daerah kerap kali mengabaikan sumber daya alam dan sumber daya manusia di
daerah tersebut. Padahal, kedua sumber daya itu sangat penting bagi
keberlangsungan daerah baru.
Sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, baik daerah hasil
pemekaran baru, atau pun daerah otonom yang sudah berdiri lama, berkewajiban
membiayai belanja dan operasional daerahnya masing-masing. Karena itu,
keberadaan kedua sumber daya itu mestinya harus benar-benar dikaji secara
matang. Soalnya, jika diabaikan, bukan tidak mungkin, daerah otonom itu hanya
akan menjadi benalu pemerintah pusat. Daerah otonom yang tidak pandai mencari
sumber-sumber pendapatan daerah akan lebih banyak menggantungkan pendapatan
daerah dari dana perimbangan pemerintah pusat.
Di sinilah pemerintah daerah diwajibkan untuk menggali
sumber-sumber keuangan sendiri. Secara umum, sumber pendapatan daerah itu
diatur oleh Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
Pasal 157 Undang-undang Pemerintahan Daerah disedbutkan sumber-sumber
pendapatan daerah, antara lain:
A. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD; 1) hasil
pajak daerah; 2) hasil retribusi daerah; 3) hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan; 4) dan lain-lain PAD yang sah.
B. Dana perimbangan;
C. Dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sebelumnya, dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 pada Pasal 79
disebutkan pula sumber-sumber pendapatan daerah yang terdiri dari:
A. Sumber pendapatan asli daerah, yaitu: 1) hasil pajak daerah, 2)
hasil retribusi daerah 3) hasil perusahaan milik daerah, 4) lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah
B. Dana perimbangan
C. Pinjaman daerah
D. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sumber-sumber keuangan ini merupakan wewenang pemerintah daerah
untuk digali semaksimal mungkin Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Pemerintah
daerah harus berupaya optimal untuk meningkatkan PAD-nya pada setiap tahun
anggaran. Nasib kesejahteraan masyarakat sejak adanya otonomi daerah akan lebih
banyak bergantung kepada pemerintah kabupaten/kota.
Dalam usaha meningkatkan pendapatan daerah yang telah disebutkan,
pajak yang bisa ditarik pemerintah daerah di antaranya, 1) Pajak Kendaraan
Bermotor, 2).Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor (PBBKB), 4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah /Air
Permukaan
Sedangkan retribusi dari pendapatan hasil daerah di antaranya
adalah Retribusi Jasa Umum, Retribusi Pelayanan Kesehatan Retribusi Jasa
Pelayanan Tera/Tera Ulang Retribusi Jasa Usaha Retribusi Pemakaian Kekayaan
Daerah, Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggarahan/Villa, Retribusi Penjualan
Produksi Usaha Daerah Retribusi Perizinan Tertentu, Retribusi Izin Trayek dan
Retribusi Pengelolaan Sumber Daya Ikan.
Sementara pendapatan asli daerah dari hasil perusahaan milik
daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik daerah (BUMD). Dan lain-lain pendapatan
asli daerah yang sah, seperti 1). Hasil Penjualan Aset Daerah Yang Tidak
Dipisahkan, 2). Penerimaan Jasa Giro, 3). Penerimaan Bunga Deposito, 4).
Penerimaan Ganti Rugi atas Kerugian, 5). Kehilangan Kekayaan Daerah (TP-TGR),
6). Pendapatan denda Pajak, 7). Pendapatan denda Retribusi, 8). Pendapatan dari
Pengembalian, dan 9). Sumbangan Pihak Ketiga.
Belakangan ini, seiring Otonomi Daerah, pemerintah daerah kurang
memaksimalkan pendapatan asli daerah dari sektor-sektor tersebut. Sumber-sumber
pendapatan asli daerah ini sudah semestinya dioptimalkan, baik dari segi jumlah
nilai maupun dari sisi kuantitas pembayar pajak dan retribusi. Begitupun dengan
pendapatan daerah dari perusahaan daerah (BUMD) harus dioptimalkan.
Yang terpenting, dalam usaha memaksimalkan pendapatan asli daerah
ini adalah melihat dengan cermat, sektor-sektor mana saja yang bisa dijadikan
sebagai sumber pendapatan asli daerah. Tentu saja dengan memperhatikan empat
prinsip, yaitu efficiency, equity, neuterality dan administrative feasibility.
Keempat prinsip ini penting untuk diperhatikan untuk mengoptimalkan pendapatan
asli daerah.
Sementara untuk daerah otonom yang tidak bisa lagi meningkatkan
sumber pendapatan daerahnya, dan hanya mengandalkan uluran dana dari pemerintah
pusat, perlu dipertimbangkan untuk menerapkan amalgamasi pada pemerintah daerah
tersebut. Karena biar bagaimanapun, kemandirian dan ketidakmandirian suatu
daerah otonom juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat.
Jika daerah otonom tidak bisa membiayai belanjanya sendiri, tentu akan menyedot
keuangan perimbangan pemerintah pusat. Begitupun jika daerah otonom itu bisa
mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya, tentu bisa meringankan belanja
pemerintah pusat.
KESIMPULAN
Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan pendapatan
asli daerah terutama, dari sektor pajak daerah dan retribusi daerah. Pertama,
dengan menyempurnakan dan mengoptimalkan penerimaan dari pajak daerah dan
retribusi daerah yang telah ada serta menerapkan pajak daerah dan retribusi
daerah yang baru. Kedua, dengan cara menyempurnakan peraturan daerah yang
mengatur pajak daerah dan retribusi daerah yang telah ada, serta membuat peraturan
daerah baru untuk menerapkan pajak daerah dan retribusi daerah yang baru pula.
Dalam penyusunan perda baru tersebut diupayakan sebagai respons
terhadap perubahan ketentuan penarikan jenis pajak daerah, retribusi daerah,
untuk merespon dimungkinkannya penarikan jenis pajak daerah maupun retribusi
daerah baru yang sebelumnya belum diatur oleh peraturan manapun, termasuk oleh
pemerintah pusat.
Penyempurnaan administrasi pendapatan daerah menyangkut melakukan
reformasi pengaturan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini
ditujukan agar para wajib pajak daerah dan wajib retribusi daerah dapat secara
optimal memenuhi kewajibannya dengan membayar pajak daerah dan retribusi daerah
sebagaimana mestinya. Serangkaian cara dapat dilakukan untuk mewujudkan hal
ini, seperti: melakukan perbaikan metode identifikasi, mekanisme registrasi,
dan pemungutan; mengembangkan sistem valuasi; merencanakan dengan lebih baik
sistem pengawasan, pemungutan, dan pelaporan keuangannya.
Untuk memudahkan optimalisasi pendapatan daerah, maka pajak atau
retribusi yang menjadi pendapatan asli daerah itu harus memenuhi empat prinsip,
yaitu efficiency, equity, neuterality dan administrative feasibility.
Ada dua kriteria utama yang menjadi acuan dalam menilai kapasitas
adminsitratif yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam mengadminsitrasikan
pendapatan asli daerahnya. Dua kriteria tersebut adalah: pertama,
realisasi–perkiraan penerimaan yang secara potensial dapat diperoleh dari pajak
daerah dan retribusi daerah. Potensi pajak daerah dan retribusi daerah ini
dibuat berdasarkan asumsi bahwa setiap orang atau badan yang memiliki kemampuan
untuk membayar pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan kewajibannya.
Kedua, biaya–akumulasi sumber daya yang harus dikorbankan terkait dengan
upaya pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus lebih menguntungkan
ketimbang dari biaya administrasinya. Termasuk tidak optimal jika pajak atau
retribusi yang ditarik ternyata lebih besar cost dari pada pendapatan atau
keuangan yang masuk ke dalam kas pemerintah daerah.
Kedua kriteria ini terkait dengan efisiensi dan efektifitas
administrasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Jika sumber
penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah tidak dapat diadministrasikan
secara efektif atau efisien, perlu kiranya pemerintah daerah melakukan evaluasi
atas pemungutan pajak daerah atau retribusi daerah terpungut atau mencari
alternatif-alternatif sumber penerimaan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Salomo, V. Roy dan M. Ikhsan, Keuangan Daerah di Indonesia,
STIA-LAN Press, 2002
Musgrave, Richard A., dan Peggy B Musgrave, Public Finance In
Theory and Practice, alih bahasa Drs. Alfonsus Sirait, Ak., dkk., Erlangga, 1991
Eryani, Very., Analisis Penerimaan Pendapatan Asli daerah (PAD)
Dalam Kaitannya Dengan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi
Lampung, Tesis, Magister Managemen, 2006
WRI, Otonomi Daerah dan Anggaran yang Berperspektif Keadilan,
Posted on June 6th, 2007
Chaniago, Andrinove A., Mengiringi Otonomi dengan Restrukturisasi
Ekonomi, Jurnal The Habibie Center, Vol. 2, No. 2, Juni - September 2002
Lutfi, Achmad., M. Si., Drs, Administrasi Pendapatan Asli Daerah
(Pajak Daerah dan Retribusi Daerah), handout, 2008
Lampiran:
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Papua
I. Pengertian
Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembyaran atas jasa atau
pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadai atau badan.
Retribusi pemakaian kekayaan Daerah adalah pembayaran atas
pemakaian kekayaan Daerah baik barang bergerak maupun tidak bergerak antara
lain pemakaian tanah dan bangunan, ruangan, kendaraan/alat-alat berat milik
daerah, alat-alat uji di bidang pekerjaan umum, pertambangan, perdagangan dan
industri, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan lain-lain.
II. Dasar Hukum
1. UU RI No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No.18 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
2. PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah;
3. PERDA Provinsi Papua No. 12 Tahun 2002 tentang Retribusi
Pemakaian Kekayaan Daerah.
III. Obyek/Subyek/Wajib Retribusi
1. Obyek Retribusi atas pemberian hak pemakaian kekayaan daerah
untuk jangka waktu tertentu meliputi pemakaian :
a. Tanah
b. Bangunan
c. Ruangan untuk pesta
d. Kendaraan/alat-alat berat milik Daerah
e. Mobil ambulance dan rumah duka
f. Kekayaan Daerah lainnya.
2. Wajib Retribusi:
Orang pribadi atau Badan yang memperoleh hak untuk menggunakan
kekayaan Daerah.
3. Prinsip pengenaan retribusi :
Untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntugan yang
pantas diterima oleh pengusaha sejenis yang berorientasi pada harga pasar.
4. Wilayah Pungut :
Dipungut di Daerah tempat pelayanan, pemakaian kekayaan Daerah
diberikan.
IV. Masa Retribusi dan Saat Retribusi Terhutang:
Masa retribusi adalah jangka waktu yang ditetapkan oleh Gubernur
berdasarkan perjanjian dengan pemakai. Retribusi terhutang terjadi pada saat
diterbitkannya Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen yang
dipersamakan.
V. Penetapan Retribusi:
Berdasarkan Surat Pendaftaran Obeyek Retribusi Daerah (SPDORD)
ditetapkan retribusi terhutang dengan menerbitkan SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
VI. Tata cara pembayaran:
Retribusi yang terhutang harus dibayar sekaligus. Pembayaran,
penyetoran, tempat pembayaran retribusi diatau oleh Gubernur. Setiap penerimaan
retribusi disetorkan ke Pemegang Kas Pembantu masing-masing instansi atau ke
pemegang kas pembantu Dispenda Provinsi Papua).
VII. Tarif Pemakaian Kekayaan Daerah (khusus sewa gedung dan
peralatannya) :
1. Dinas Perkebunan:
- Aula TC Waena Rp 150.000/hari
- Aula SADP Kotaraja Rp 100.000/hari
- Kursi Rapat Rp 300/hari/buah
- OHP dan layar Rp 50.000/hari
- Sound System Rp 75.000/hari
- Masing-masing ditambah jasa pelayanan 15%.
2. Dinas Perikanan dan Kelautan
- Aula Rp 250.000/hari
- Kursi rapat Rp 300/hari/buah
- Sound system Rp 75.000/hari
- Masing-masing ditambah jasa pelayanan 15%.
3. Dinas Pemuda dan Olah Raga :
- Aula Ex BP-7 Rp 600.000/1x pakai
- Gedung Olah Raga Cenderawasih
o untuk kepentingan komersil Rp 1.500.000/1x pakai
o untuk kepentingan sosial/agama Rp 300.000/1x pakai
o Masing-masing ditambah jasa pelayanan 15%.
- Lapangan sepakbola Mandala
o untuk kepentingan komersial Rp 5.000.000/1x pakai
o untuk kepentingan sosial/agama Rp 100.000/1x pakai
ditambah jasa pelayanan 15%.
4. Dinas Pendapatan Daerah:
- Gedung aula Rp 250.000/1x pakai
- Peralatan (kursi) Rp 300/hari/buah
5. Dinas Perhubungan :
- Gedung aula Rp 250.000/1x pakai
- Peralatan (kursi) Rp 300/hari/buah
6. Dinas Kesejahteraan Sosial:
Gedung Aula Rp 250.000 untuk pemakai s/d 3 hari lebih dan
seterusnya Rp 200.000/hari ditambah jasa pelayanan 15%.
7. Dinas Koperasi dan PKM:
- Gedung aula (Balatkop) Rp 200.000/hari
8. Dinas Kependudukan dan Pemukiman:
- Gedung Aula Rp 150.000/1x pakai
9. Dinas Pertambangan dan Energi:
- Gedung Aula Rp 75.000/hari
10. Dinas Tenaga Kerja:
- Gedung aula Rp 100.000/1x pakai
11. Badan Informasi dan Komunikasi Daerah:
- Gedung aula Rp 260.000/1x pakai
- Jasa pelayanan 15%.
12. Badan DIKLAT:
- Gedung aula Rp 300.000/1x pakai
13. Badan Promosi dan Investasi Daerah:
- Gedung aula Rp 250.000/1x pakai
- Kursi Rp 300/buah/1x pakai
- Merja Rp 500/1x pakai
14. Biro Umum SETDA Provinsi Papua:
- Gedung Sasana Krida Rp 300.000/1x pakai
- AC Rp 50.000/1x pakai
- Pengeras suara Rp 50.000/1x pakai
- Kursi Rp 300/buah/1x pakai
- Kursi sofa/size Rp 20.000/set/1x pakai
- Meja makan Rp 200/buah/1x pakai
Ditambah jasa pelayanan 15%.
15. Gedung Hanggar Sentani : Rp 6.000.000/bulan
Untuk memudahkan para akademikus dalam pensitasian artikel ini, silakan klik di sini. Artikel ini juga diterbitkan di sinihttps://www.researchgate.net/publication/374586589_OPTIMALISASI_PENDAPATAN_DAERAH_PAD_DALAM_SISTEM_OTONOMI_DAERAH_DI_INDONESIA
kritis, konstruktif dan solutif