PEMBANGUNAN TRANSPORTASI KOTA: STUDI KEMACETAN LALULINTAS DI DKI JAKARTA

Tim Redaksi
0



Pertumbuhan penduduk provinsi DKI Jakarta terus bertambah. Arus urbanisasi setiap tahun tidak bisa dikendalikan. Pembangunan perumahan menjadi konsekuensi yang tidak bisa dihindari dan terus berkembang pesat dalam usaha melayani pertumbuhan penduduk Jakarta. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur ekonomi (pertokoan, mal, dan sentra-sentra bisnis) terus menjamur.
Pertumbuhan ekonomi menjadi magnet berkekuatan besar yang menyedot warga Negara Indonesia berurbanisasi ke Jakarta, baik untuk sekadar melancong (rekreasi), studi (kursus, sekolah dan kuliah), maupun bekerja dan berbisnis. Pada setiap harinya, tidak saja warga yang tinggal di Jakarta yang keluar rumah untuk bekerja, tapi juga mereka yang tinggal di sekitar Jakarta (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Akibatnya Jakarta menjadi sangat padat.
Pada jam-jam kerja itu, jalan-jalan di Jakarta, terutama jalan utama dan arteri menjadi macet. Berdasarkan data Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT), jumlah kendaraan di Jakarta hingga tahun 2003 mencapai 6.506.244 unit. Dari jumlah itu, 1.464.626 merupakan mobil berpenumpang, 449.169 mobil beban (truk), 315.559 bus, dan 3.276.890 sepeda motor. Pertambahan paling fantastis terjadi pada jenis kendaraan sepeda motor. Pada tahun 2001 sepeda motor bertambah 333.510 unit, tahun 2002 bertambah 223.896 unit, tahun 2003 bertambah 365.811 unit.
Dari data tersebut, jumlah kendaraan pribadi lebih banyak dibanding kendaraan umum. Perbandingan jumlah kendaraan pribadi dan kendaraan umum adalah 98% kendaraan pribadi dan 2% kendaraan umum. Sementara di sisi lain, jumlah jalan di Jakarta, dari tahun ke tahun, tak ada penambahan. Jalan utama di Jakarta, masih yang itu-itu saja (Jend. Sudirman, MH Thamrin, dan Gatot Soebroto). Akibatnya, kemacetan pun tak bisa dihindari dan menjadi ‘santapan’ rutin setiap hari.

PERMASALAHAN
Jumlah kendaraan di Jakarta terus bertambah. Rata-rata per tahun, pertumbuhan jumlah kendaraan mencapai 11%. Dari jumlah itu, jumlah kendaraan pribadi paling banyak mengalami peningkatan dibandingkan dengan jumlah kendaraan umum. Sementara, pertambahan panjang jalan di Jakarta tidak mencapai 1%. Padahal, pada setiap harinya terdapat 138 pengajuan STNK baru, yang berarti di setiap harinya Jakarta membutuhkan penambahan jalan sepanjang 800 meter.
Penelitian Departemen Perhubungan RI (2000) di 34 titik jalan arteri di Jakarta menunjukkan ada 32 titik (94%) ruas jalan arteri yang melebihi kapasitas. Pada jam sibuk pagi dan sore, lalu lintas di jalan-jalan utama Kota Jakarta hanya bergerak 12 km/jam. Bahkan, Jakarta akan bertambah krodit, jika pada jam-jam sibuk itu diguyur hujan. Tak cuma kebisingan dan polusi yang diakibatkan dari kamacetan itu, tapi juga jarak tempuh yang semestinya sangat singkat menjadi lebih lama berjam-jam.
Hasil penelitian Japan International Corporation Agency (JICA) dan The Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) yang dilansir tempointeraktif.com menyebutkan, jika tidak ada pembenahan sistem transportasi umum, maka lalu lintas Jakarta akan mati pada tahun 2014. Alasannya, pertumbuhan kendaraan di Jakarta rata-rata per tahun mencapai 11% . Ditambah lagi selama ini tidak ada pertambahan panjang jalan yang signifikan. Pertambahan jalan di Jakarta cuma 1%.
Untuk mengatasi kemacetan atau bahkan kematian lalu lintas seperti hasil penelitian JICA tersebut, pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang merancang pola transportasi makro (PTM). Tak cuma PTM yang ingin dibangun, Jakarta juga sejak 2004 telah membentuk Dewan Transportasi Kota (DTK). Nyatanya hingga sekarang, penanganan transportasi Jakarta tetap macet. Lantas, 1) bisakah Jakarta terbebas dari kemacetan, atau mungkin terhindar dari kematian lalu lintas pada 2014 seperti hasil penelitian JICA? 2) Bagaimana cara mengatasi kemacetan tersebut?

POKOK PEMBAHASAN
Pola transportasi makro (PTM) yang menjadi kebijakan strategis propinsi DKI Jakarta memadukan empat sistem transportasi umum. Yaitu, bus cepat di jalur khusus (bus way), kereta ringan dengan rel tunggal (monorel), jaringan mass rapid transit (MRT), dan jaringan angkutan air. Dicanangkan, sistem terpadu itu ditargetkan akan selesai pada 2010. TPM diyakini akan menjadikan lalu lintas tertib terkendali, polusi udara berkurang, tingkat kecelakaan menurun, perubahan budaya menuju masyarakat disiplin dan kegiatan tepat waktu.
Faktanya, tahun 2010 tinggal dua tahun lagi. Rasa-rasanya, TPM yang dicanangkan akan selesai pada tahun 2010 itu tidak akan terealisasi. Pembangunan Transjakarta dengan fasilitas pembuatan jalur khusus (bus way) dan dilindungi dengan peraturan daerah (perda) DKI Jakarta, hingga kini tidak berjalan mulus. Pembangunan infrastruktur kereta ringan dengan rel tunggal (monorel) juga tersendat. Di beberapa ruas jalan, seperti Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan dan Asia Afrika, Jakarta Pusat, mengonggok tiang pancang jalan monorel.
Bus way di sepanjang jalan Gatot Soebroto, MT Haryono dan sebaliknya, hingga kini belum difungsikan. Belum ada Transjakarta yang dioperasikan di jalur khusus tersebut untuk mengangkut penumpang. Begitupun jaringan angkutan air, pembangunannya lumpuh. Debit airnya tidak bisa direkayasa. Apalagi untuk pembangunan mass rapid transit (MRT), masih jauh dari kenyataan. Belum ada tanda-tanda MRT akan dikerjakan dalam waktu dekat.
Lengkaplah indikasi yang mengukur TPM tidak akan terealiasai pada tahun 2010. Padahal tahun 2014 seperti yang diramalkan JICA, akan terjadi kematian lalu lintas Jakarta, sudah sangat dekat. Harus ada kebijakan serius yang dilakukan pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat. Jika tidak juga ada perbaikan dalam masalah transportasi, ke depan, Jakarta bukan saja akan menjadi kota yang tidak menarik, tapi juga akan menjadi mati.
Jakarta akan banyak ditinggalkan para pembisnis karena bisnis di Jakarta transaction cost-nya sangat mahal. Biaya pengeluaran dan belanjanya lebih besar ketimbang provite atau keuntungannya. Berbisnis di Jakarta akan habis di jalanan karena setiap saat terjebak macet. Belum lagi dari sektor lingkungan dan kesehatan. Berapa polutan yang dihisap manusia jika jalan-jalan di Jakarta macet. Berapa besar karbon yang akan terbakar dan melubangi lapisan ozon.
Belum lagi kebijakan TPM tuntas, pemerintah justru mencangkan pembangunan ruas tol dalam kota. Enam ruas jalan tol tengah kota yang akan di bangun dan beririsan dengan jalur bus way. Tol Rawa Buaya- Pulo Gebang beririsan dengan bus way koridor jalur II Pulogadung-Harmoni dan bus way koridor III Kalideres-Harmoni. Tol Ulujami-Duripulo beririsan dengan bus way koridor I (Blok M-Kota).
Tol Kampung Melayu-Kemayoran beririsan dengan bus way koridor V (Kampung Melayu-Ancol). Tol Pasar Minggu-Casablanca-Duku Atas-Duripulo beririsan dengan bas way koridor VI (Warung Jati-Imam Bonjol). Tol Pasar Minggu-Casablanca-Kampung Melayu-Kemayoran beririsan dengan bus way Pasar Minggu-Manggarai.
Pengamat transportasi, Darmaningtyas tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang berencana membangun enam jalan tol tengah kota. Pembangunan tol tengah kota akan menciptakan kebisingan baru, dan polusi udara. Pertimbangan pembangunan keenam jalan tol hanya berdasarkan pertimbangan bisnis semata, yaitu untuk menarik pemakai mobil pribadi dan bukan pada penciptaan mass transportation. Pemerintah tidak konsisten dalam implementasi pola transportasi makro. (Tempointeraktif, Rabu, 18 Januari 2006).
Kebijakan dan visi strategis pembangunan transportasi kota kerap tidak dilakukan secara komprehensif. Proses pembuatan kebijakan diletakkan pada aspek bisnis, dan bukan untuk menciptakan layanan publik yang baik. Akibatnya, kebijakan pembangunan transportasi kerap berbenturan dengan kebijakan taktis yang kontradiktif sehingga menyebabkan kebijakan transportasi kota tidak konsisten. Karena itu, penanganan kemacetan lalu lintas di Jakarta harus melibatkan banyak stakeholder. Di antaranya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kepolisian, Departemen Perhubungan, Pemerintah Daerah Penunjang (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) dan masyarakat pengguna jalan.
Keterlibatan para stakeholder ini memang tidak sama. Pemprov DKI merupakan pemilik wilayah. Departemen Perhubungan memiliki kewenangan mengatur rute jalan mobil-mobil umum dan mengatur lalu lintas. Kepolisian berwenang mengatur arus jalan kendaraan dan menjaga ketertiban berlalu lintas (law enforcement). Pemerintah Daerah Penunjang (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) menjadi daerah penghubung dengan DKI, di mana ruas-ruas jalannya tersambung dan masyarakat yang dating (urban) juga berasal dari daerah penunjang ini. Sedangkan masyarakat pengguna jalan tentu berkepentingan terhadap tertibnya berlalu lintas dengan rasa aman.
Karena itu, proses pembuatan kebijakan pembangunan transportasi kota harus komprehensip dengan melibatkan semua stakeholder dan elemen masyarakat. Proses kebijakan setidaknya bisa menggunakan Core Policy Process.
Dari pemasalahan yang sudah dibahas di atas, maka alternatif solusinya menganai kemacetan lalu lintas DKI Jakarta di antaranya dengan:

NO
ALTERNATIF SOLUSI
PENGELOLA
RISIKO
1.
Meng-ada-kan alat transportasi massa yang menghubungkan dari daerah penyanggah ke DKI Jakarta.
Pemprov DKI, Pemda daerah Penyanggah, Swasta, atau partnership
Kecil
2.
Menambah jalan-jalan baru (alternatif) yang menghubungkan daerah-daerah senteral bisnis di DKI Jakarta.
Pemprov DKI, Swasta, atau partnership
Kecil
3.
Membuat regulasi tentang penggunaan jalan-jalan utama bagi kendaraan pribadi pada jam-jam yang sudah diidentifikasi terjadi kemacetan.
Pemprov DKI Jakarta
Kecil
4.
Memberikan insentif bagi pemilik kendaraan pribadi yang mau menggunakan atau memanfaatkan transportasi massa.
Pemprov DKI Jakarta dan Pemda daerah Penyanggah
Besar
Dari empat alternatif tersebut, alternatif 2 (dua) sudah dilakukan Pemrov DKI Jakarta. Yaitu dengan meng-ada-kan transportasi massa (Transjakarta) sekaligus dengan pengadaan jalan khusus (bus way) yang dilindungi peraturan daerah (perda). Namun, sayangnya, transportasi massa ini juga belum memenuhi harapan bisa mengatasi kemacetan lalu lintas.
Pada alternatif 3 (tiga) juga sudah diberlakukan oleh Pemprov DKI. Pada jam-jam tertentu, Pemprov DKI Jakarta telah memberlakukan three in one (3 in 1) untuk Jalan Sudirman, Thamrin dan Gatot Soebroto. Namun, tampaknya pemberlakuan jam three in one tidak berjalan optimal. Lalu lintas pada jalan-jalan tersebut tetap macet. Bahkan di sisi lain, kebijakan three in one ini juga telah menumbuhsuburkan joki. Yaitu penjual jasa yang menumpang di mobil pembeli jasa untuk memenuhi syarat three in one tersebut.
Yang tersisa tinggal alternatif 1 dan 4 (satu dan empat). Yaitu meng-ada-kan alat transportasi massa yang menghubungkan dari daerah penyanggah ke DKI Jakarta dan memberikan insentif bagi pemilik kendaraan pribadi yang mau menggunakan atau memanfaatkan transportasi massa. Dari dua alternatif ini, tampaknya yang kecil risikonya adalah alternatif 1 (satu), yaitu meng-ada-kan alat transportasi massa yang menghubungkan dari daerah penyanggah ke DKI Jakarta. Tentu karena yang tersisa hanya dua alternatif, maka alternatif empat bisa dijadikan sebagai opsi pilihan lain ketika opsi pilihan pertama ini gagal.
Mengimplementasikan peng-ada-an alat transportasi massa yang menghubungkan dari daerah penyanggah ke DKI Jakarta.

No
STRATEGI
PENANGGUNG JAWAB
1.
Melakukan kajian dampak lingkungan.
Pemprov DKI, Pemda daerah Penyanggah, Swasta, atau partnership
2.
Tentukan jalan mana saja yang akan digunakan, apakah menggunakan jalan yang sudah ada atau membuat jalan baru.
Pemprov DKI, Pemda daerah Penyanggah, Swasta, atau partnership
3.
Pemilihan jenis kendaraan (kereta api, bus, sub way dll).
Pemprov DKI, Pemda daerah Penyanggah, Swasta, atau partnership
4.
Membuat regulasi
Pemprov DKI dan Pemda daerah Penyanggah
5.
Membuat badan usaha yang mengurus operasional transportasi massa lintas pemerintah daerah.
Pemprov DKI, Pemda daerah Penyanggah, Swasta, atau partnership
Jika alternatif solusi yang pertama gagal, maka opsi kedua adalah memberikan insentif bagi pemilik kendaraan pribadi yang mau menggunakan atau memanfaatkan transportasi massa. Insentif bisa dilakukan dengan memberikan tarif khusus bagi masyarakat yang menggunakan transportasi publik. Atau insentif bisa dilakukan dengan cara lain, misalnya, pengurangan tarif pajak kendaraan pribadi dan lain-lain.
Proyek ini dianggap berhasil jika outcome-nya sesuai dengan tujuan planning atau goal planning. Yaitu menciptakan tertib lalu lintas, mengatasi kemacetan dan memberikan rasa aman bagi para pengguna jalan. Proyek harus dijalankan dengan prinsip transparan dan akuntabel.
Bagi Geoff Vigar, dalam tulisannya berjudul Transport for people, menjelaskan, ada tiga hal yang urgent diperhatikan dalam pembangunan transportasi publik. Yaitu, accessibility, mobility and equity in transport planning. Vigar menitikberatkan pada pembangunan transportasi yang lebih memudahkan kepada akses, mempercepat mobilitas dan ruang gerak dan pemerataan dalam perencanaan pembangunan transportasi.

KESIMPULAN
Ada beberapa kesimpulan dari pembahasan Pembangunan Transportasi Kota: Studi Kemacetan Lalu Lintas di DKI Jakarta. Di antaranya: 1) Pembangunan transportasi kota di DKI Jakarta tidak didasarkan pada studi yang komprehensip dan cenderung berkiblat pada sektor bisnis dan bukan pada pelayanan publik yang baik, 2) Pembangunan tranportasi kota DKI Jakarta harus melibatkan stakeholder daerah sekitar (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), 3) Harus ada regulasi yang mencerminkan pembangunan transportasi massa yang baik dan law and structure enforcement (penegakan hukum dan struktur kelembagaan), baik dalam soal kepatuhan berlalu lintas maupun ketertiban urbanisasi, 4) pembangunan transportasi kota harus menitikberatkan pada pembangunan transportasi yang lebih memudahkan kepada akses, mempercepat mobilitas dan ruang gerak dan pemerataan dalam perencanaan pembangunan transportasi.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Data dan Analiasa Tempo (PDAT)
Tempointeraktif.com
Prof. Lukman Hakim, Handout Kuliah Kebijakan Publik, 2008
Geoff Vigar, Transport for People; Accessibility, mobility and equity in transport planning dalam Sosial Town Planning, Edited Clara H. Greed
DR. Linda D. Ibrahim, Proses Urbanisasi dan Manajemen Perkotaan, Handout Kuliah Pembangunan Wilayah Kota, 2008



Untuk para peneliti, akademikus dan mahasiswa yang memerlukan sitasi artikel ini, silakan klik di siniArikel ini juga dipublikasikan di https://www.researchgate.net/publication/374591954_PEMBANGUNAN_TRANSPORTASI_KOTA_STUDI_KEMACETAN_LALULINTAS_DI_DKI_JAKARTA


Posting Komentar

0Komentar

kritis, konstruktif dan solutif

Posting Komentar (0)