CERITA mistis tentang perjalanan haji selalu menarik untuk disimak. Umumnya jamaah haji Indonesia yang baru menyelesaikan dari menunaikan rukun Islam kelima itu mempunyai pengalaman spiritual yang cenderung berbau mistik. Dan kadang-kadang pengalaman spiritual itu justru yang lebih menonjol ketimbang praktik ibadah syariahnya sendiri.
Kebetulan dan tanpa diduga (rizkun min haitsu layahtasib), saya baru saja menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan pula, pelaksanaan ibadah haji 1427 H/2006 kemarin itu adalah Haji Akbar.
Haji Akbar adalah haji yang pelaksanaan wukufnya dilaksanakan pada hari Jumat. Haji Akbar jarang ditemukan, bahkan lima sampai sembilan tahun sekali. Diyakini, menunaikan ibadah haji Akbar memperoleh pahala yang berlipat ganda dari haji-haji biasa.
Dan, pada pelaksanaan ibadah haji Akbar kemarin, diperkirakan ada sekitar enam juta jamaah dari berbagai penjuru negara. Jumlah itu diperkirkan meningkat 100 persen dari jumlah jamaah pada pelaksanaan haji yang bukan akbar. Akibatnya Tanah Haram penuh. Jalan-jalan macet. Harga-harga makanan, pakaian dan ongkos mobil pun melonjak sampai 300 persen.
Kebetulan dan tanpa diduga (rizkun min haitsu layahtasib), saya baru saja menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan pula, pelaksanaan ibadah haji 1427 H/2006 kemarin itu adalah Haji Akbar.
Haji Akbar adalah haji yang pelaksanaan wukufnya dilaksanakan pada hari Jumat. Haji Akbar jarang ditemukan, bahkan lima sampai sembilan tahun sekali. Diyakini, menunaikan ibadah haji Akbar memperoleh pahala yang berlipat ganda dari haji-haji biasa.
Dan, pada pelaksanaan ibadah haji Akbar kemarin, diperkirakan ada sekitar enam juta jamaah dari berbagai penjuru negara. Jumlah itu diperkirkan meningkat 100 persen dari jumlah jamaah pada pelaksanaan haji yang bukan akbar. Akibatnya Tanah Haram penuh. Jalan-jalan macet. Harga-harga makanan, pakaian dan ongkos mobil pun melonjak sampai 300 persen.
Baca Juga Sabar Menunggu
Saya berusaha meresapi seluruh rangkaian proses (rukun dan wajib) haji itu. Dan saya juga berusaha bersikap rasional terhadap kejadian-kejadian dalam proses itu, baik yang saya alami sendiri maupun kawan-kawan. Dan sebenarnya, saya sendiri tidak mengalami kejadian-kejadian spiritual yang cenderung mistis itu.
Ketika teman-teman saya selesai menunaikan thawaf ifadhah, dan hendak pulang ke apartemen di Aziziyah Shisa, mereka tersasar dan memutar-mutar di jalan sekitar Pasar Seng hingga dua kali. Seorang teman bercerita, hal itu dikarenakan salah seorang di antara mereka ada yang ngomong, "enak juga naik di atas (mobil), sekalian jalan-jalan."
Begitulah keadaanya. Ketika musim haji, semua jenis angkutan beroprasi. Mobil pribadi, pick up dan mobil tua yang biasa 'nagog' di depan rumah, tiba-tiba dijadikan angkutan. Bahkan sudah jadi pemandangan umum, para jamaah ada yang naik mobil angkutan itu dengan duduk di atas atap mobil. Nah itu juga yang dilakukan teman-teman saya ketika seusai thawaf ifadah.
Selain itu, sebelumnya ketika hendak wukuf di Arafah, kami kesulitan mencari tenda. Bahkan, rombongan kami yang diangkut dengan tiga mobil juga terpisah dan baru bisa berkumpul di tenda ba'da Maghrib. Rombongan saya, yang tergabung dengan bus 2, adalah rombongan yang sampai pertama di tenda. Kami datang sesaat sebelum adzan shalat Jumat dikumandangkan. Dengan begitu rombongan kami masih sempat berdiam diri untuk berdzikir hingga saat yang paling makbul, ketika matahari akan terbenam.
Baca Juga Terima Kasih ala Mas Naryo
Saya juga sempat tiga kali diberi air zamzam oleh seorang lelaki yang tak saya kenal. Dua kali di Masjidil Haram, Makkah dan satu kali ketika saya selesai shalat sunnah di Raudhah, di Masjid Nabawi, Madinah. Saya juga sempat dipandu pria (Iran) ketika hendak ke Masjidil Haram dari bawah terowongan. Saya juga sempat jalan jauh ketika hendak kembali ke hotel di Jeddah, ketika seusai umrah (28/12) sebelum pelaksanaan haji. Apakah itu yang disebut pengalaman spiritual/mistis.
Saya berusaha merasionalisasi kejadian tersebut. Ketika kawan-kawan saya tersesat, saya melihatnya sebagai kewajaran. Kenapa? Sebagai orang asing yang baru datang pertama kali ke negara orang, tersesat menjadi wajar. Selain daerah yang sama sekali asing, bahasa sebagai alat komunikasi terpenting juga bisu, karena tidak bisa berbahasa arab. Nama-nama jalan ditulis dengan huruf arab (gundul).
Bisu benar-benar bisu. Ketika kita bisa berbahasa inggris, ternyata orang-orang yang kita ajak bicara tidak bisa berbahasa inggris. Bahkan, ketika kita bisa berbicara bahasa arab (fushah), ternyata mereka tidak nyambung karena bahasa keseharian mereka adalah bahasa pasaran itu.
Ketika ada orang yang berbuat baik, itu juga wajar. Bukankah berbuat kebajikan di musim haji dan untuk tamu Allah itu pahalanya berlipat ganda? Makanya banyak orang-orang kaya Arab menyumbangkan makanan dan minuman bermobil-mobil di pinggir-pinggir jalan utama. Setidaknya, sejauh ini, saya tidak melihat mistis yang banyak jadi gunjingan itu.
Bagi saya, menunaikan ibadah haji adalah sebuah manifesto ketaatan kepada Allah. Saya sebut manifesto ketaatan karena prosesi ibadah haji merupakan napak tilas perjalanan Rasulullah dan Nabiallah Ibrahim. Seluruhnya prosesinya tercatat dalam sejarah. Sa'i dan jumrah misalnya, adalah sebuah kisah yang dialami Nabiallah Ibrahim bersama istri dan anaknya, Siti Hajar dan Nabi Ismail.
Saya berusaha meresapi seluruh rangkaian proses (rukun dan wajib) haji itu. Dan saya juga berusaha bersikap rasional terhadap kejadian-kejadian dalam proses itu, baik yang saya alami sendiri maupun kawan-kawan. Dan sebenarnya, saya sendiri tidak mengalami kejadian-kejadian spiritual yang cenderung mistis itu.
Ketika teman-teman saya selesai menunaikan thawaf ifadhah, dan hendak pulang ke apartemen di Aziziyah Shisa, mereka tersasar dan memutar-mutar di jalan sekitar Pasar Seng hingga dua kali. Seorang teman bercerita, hal itu dikarenakan salah seorang di antara mereka ada yang ngomong, "enak juga naik di atas (mobil), sekalian jalan-jalan."
Begitulah keadaanya. Ketika musim haji, semua jenis angkutan beroprasi. Mobil pribadi, pick up dan mobil tua yang biasa 'nagog' di depan rumah, tiba-tiba dijadikan angkutan. Bahkan sudah jadi pemandangan umum, para jamaah ada yang naik mobil angkutan itu dengan duduk di atas atap mobil. Nah itu juga yang dilakukan teman-teman saya ketika seusai thawaf ifadah.
Selain itu, sebelumnya ketika hendak wukuf di Arafah, kami kesulitan mencari tenda. Bahkan, rombongan kami yang diangkut dengan tiga mobil juga terpisah dan baru bisa berkumpul di tenda ba'da Maghrib. Rombongan saya, yang tergabung dengan bus 2, adalah rombongan yang sampai pertama di tenda. Kami datang sesaat sebelum adzan shalat Jumat dikumandangkan. Dengan begitu rombongan kami masih sempat berdiam diri untuk berdzikir hingga saat yang paling makbul, ketika matahari akan terbenam.
Baca Juga Terima Kasih ala Mas Naryo
Saya juga sempat tiga kali diberi air zamzam oleh seorang lelaki yang tak saya kenal. Dua kali di Masjidil Haram, Makkah dan satu kali ketika saya selesai shalat sunnah di Raudhah, di Masjid Nabawi, Madinah. Saya juga sempat dipandu pria (Iran) ketika hendak ke Masjidil Haram dari bawah terowongan. Saya juga sempat jalan jauh ketika hendak kembali ke hotel di Jeddah, ketika seusai umrah (28/12) sebelum pelaksanaan haji. Apakah itu yang disebut pengalaman spiritual/mistis.
Saya berusaha merasionalisasi kejadian tersebut. Ketika kawan-kawan saya tersesat, saya melihatnya sebagai kewajaran. Kenapa? Sebagai orang asing yang baru datang pertama kali ke negara orang, tersesat menjadi wajar. Selain daerah yang sama sekali asing, bahasa sebagai alat komunikasi terpenting juga bisu, karena tidak bisa berbahasa arab. Nama-nama jalan ditulis dengan huruf arab (gundul).
Bisu benar-benar bisu. Ketika kita bisa berbahasa inggris, ternyata orang-orang yang kita ajak bicara tidak bisa berbahasa inggris. Bahkan, ketika kita bisa berbicara bahasa arab (fushah), ternyata mereka tidak nyambung karena bahasa keseharian mereka adalah bahasa pasaran itu.
Ketika ada orang yang berbuat baik, itu juga wajar. Bukankah berbuat kebajikan di musim haji dan untuk tamu Allah itu pahalanya berlipat ganda? Makanya banyak orang-orang kaya Arab menyumbangkan makanan dan minuman bermobil-mobil di pinggir-pinggir jalan utama. Setidaknya, sejauh ini, saya tidak melihat mistis yang banyak jadi gunjingan itu.
Bagi saya, menunaikan ibadah haji adalah sebuah manifesto ketaatan kepada Allah. Saya sebut manifesto ketaatan karena prosesi ibadah haji merupakan napak tilas perjalanan Rasulullah dan Nabiallah Ibrahim. Seluruhnya prosesinya tercatat dalam sejarah. Sa'i dan jumrah misalnya, adalah sebuah kisah yang dialami Nabiallah Ibrahim bersama istri dan anaknya, Siti Hajar dan Nabi Ismail.
Baca Juga Harta Cuma Titipan
Begitu juga ketika mencium Hajar Aswad, yang diperebutkan banyak jamaah itu. Sahabat Umar RA sendiri melihatnya secara rasional. Umar tidak akan mencium Hajar Aswad jika Rasulullah tidak menciumnya. Umar mengakui bahwa Hajar Aswad hanyalah sebuah batu yang tidak memberikan manfaat dan kemudharatan.
Namun, Umar tetap mengikuti sunnah Rasul itu. Artinya apa, itulah manifesto ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada dua hadits sahih yang mengisahkan perlakuan Umar RA terhadap Hajar Aswad. Hadits itu masing-masing diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Muslim dan Abu Daud.
Ibadah haji adalah manifesto ketaatan yang sarat makna dan ada nilai-nilai transidental di dalamnya. Siapapun, saya kira, ketika menunaikan ibadah haji akan sangat senang jika selalu bisa berada di Masjidil Haram untuk shalat 5 waktu berjamaah dan thawaf.
Begitu pun ketika berada di Madinah. Semua jamaah haji akan merasa lebih afdhal hajinya jika bisa menunaikan shalat Arba'in. Ketertarikan untuk selalu bisa beribadah itulah nilai-nilai trasidental yang saya maksud. Selebihnya tentang cerita mistis itu waallahu a'lam bishawaf.
*Redaktur Rakyat Merdeka dan Redaktur Pelaksana Tabloid Haji dan Umrah Indonesia (THUI). Tulisan ini juga dimuat di THUI edisi Februari 2007
Begitu juga ketika mencium Hajar Aswad, yang diperebutkan banyak jamaah itu. Sahabat Umar RA sendiri melihatnya secara rasional. Umar tidak akan mencium Hajar Aswad jika Rasulullah tidak menciumnya. Umar mengakui bahwa Hajar Aswad hanyalah sebuah batu yang tidak memberikan manfaat dan kemudharatan.
Namun, Umar tetap mengikuti sunnah Rasul itu. Artinya apa, itulah manifesto ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada dua hadits sahih yang mengisahkan perlakuan Umar RA terhadap Hajar Aswad. Hadits itu masing-masing diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Muslim dan Abu Daud.
Ibadah haji adalah manifesto ketaatan yang sarat makna dan ada nilai-nilai transidental di dalamnya. Siapapun, saya kira, ketika menunaikan ibadah haji akan sangat senang jika selalu bisa berada di Masjidil Haram untuk shalat 5 waktu berjamaah dan thawaf.
Begitu pun ketika berada di Madinah. Semua jamaah haji akan merasa lebih afdhal hajinya jika bisa menunaikan shalat Arba'in. Ketertarikan untuk selalu bisa beribadah itulah nilai-nilai trasidental yang saya maksud. Selebihnya tentang cerita mistis itu waallahu a'lam bishawaf.
*Redaktur Rakyat Merdeka dan Redaktur Pelaksana Tabloid Haji dan Umrah Indonesia (THUI). Tulisan ini juga dimuat di THUI edisi Februari 2007
FOTO: bpkh.go.id
kritis, konstruktif dan solutif