Rancangan Undang-undang Antipornografi dan pornoaksi (RUU APP) yang tengah digodok di DPR, masih menjadi perdebatan. Di masyarakat, RUU APP ini jadi kontroversi. Kaum wanita merasa dilecehkan. Namun sebagian yang lain merasa dihormati. Keduanya, mereka yang merasa dilecehkan dan dihormati menggelar unjukrasa. Ya, menolak dan mendukung.
Perdebatannya menjadi sangat menarik. Suatu waktu ketika saya sedang berteduh di Markas YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, kami berdialog panjang lebar dengan teman-teman sesama wartawan. Lagi, di antara wartawan pun ada yang setuju RUU APP dan ada pula yang menolak.
Namun, ada pernyataan menarik dari obrolan itu. Begini, RUU APP itu diskriminatif dan melanggar budaya Timur yang selama ini dianut Indonesia. Lho kok? Ya begini jawab teman yang pengacara publik itu. Oh ya obrolan itu melibatkan juga Daniel Pandjaitan, pengacara publik yang pernah menjadi kuasa hukum redaktur Rakyat Merdeka Supratman.
Di Papua dan Indonesia bagian Timur sana, masyarakat masih banyak yang pake koteka dan bahkan telanjang bulat. Lalu bagaimana dengan ada Jawa yang perempuannya sering pakai kemben, di mana dadanya telihat jelas. Atau di Bali, yang masyarakatnya masih suka mandi di parit dengan telanjang. Apakah semua orang itu akan ditangkapi karena melanggar Undang-undang Antipornografi dan pornoaksi (kalau sudah disahkan)?
Saya tak menjawab. Saya hanya terdiam saja. Lontaran-lontaran pertanyaan itu baru saya dengar saat itu. Diskusi berhenti. Sang pengacara kembali menemui kliennya.
Nah, beda lagi dengan teman yang juga redaktur Rakyat Merdeka. Kata teman perempuan ini, anggota DPR itu munafik. Padahal mereka senang juga melihatnya.
Tapi, menurut saya itu pernyataan yang sentimentil. Adalah naluri manusia normal menyukai lawan jenisnya. Jangankan dibuka, ditutup pun, lelaki dan perempuan saling menyukai. Jadi bukan soal suka dan munafik.
Sewaktu-waktu saya bertemu dengan Ketua Umum Kohati PB HMI Betty Idroos. Dia bilang, prinsipnya dia setuju bahwa pornografi dan pornoaksi harus diatur. Tapi RUU APP masih sangat abstrak dan debateble.
Saya lantas bertanya pada diri sendiri, benarkah RUU APP itu diskriminatif, memojokkan dan menindas kaum perempuan, dan mengagungkan lelaki. Benarkah RUU APP itu menempatkan perempuan menjadi "Sumber Masalah." Ya seolah-olah, karena perempuanlah maka perkosaan, pelecehan seksual terjadi. Bukankah itu salah lelaki karena tidak bisa menahan birahi dan berkelakuan amoral.
Pertanyaan demi pertanyaan terus meluncur dan berkutat di otak kepala saya yang tidak seberapa besar ini. Benarkah ini? Salahkah itu?
Saya teringat pada mata rantai yang tak bisa ditentukan, apa yang lebih dulu. "Ayam dulu atau telur dulu, mana yang duluan."
Tapi untuk RUU APP ini saya berkesimpulan, pornografi dan pornoaksi harus dibatasi. Bukan siapa yang menyudutkan atau dan siapa yang disudutkan. Lelaki atau perempuan.
Teman-teman dari Indonesia bagian Timur, misalnya, ternyata juga lebih nyaman dengan berpakaian. Dulu, ketika informasi dan zaman tak secanggih sekarang, kita sangat nyaman dengan cara berpakain saat itu. Dulu para gadis merasa malu ketika dia memakai pakaian yang kekecilan dan merecet. Para ABG merasa malu kalau berpakaian, tapi pusarnya kelihatan, apalagi (maaf) payudaranya. Tapi sekarang, ya pusar, ya payudara dibiarkan melompong.
Lalu bagaimana dengan budaya berkemben itu? Dilarangkah? Setahu saya, orang-orang yang biasa berkemben adalah perempuan yang sudah tua-tua, atau paling tidak umurnya sudah paruh baya. Kalaupun ada anak gadis yang memakai kemben, itu juga potongan bahan pada wilayah payudaranya tidak terlalu lebar dan cenderung tidak menunjukkan belahan payudara itu.
Perdebatannya menjadi sangat menarik. Suatu waktu ketika saya sedang berteduh di Markas YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, kami berdialog panjang lebar dengan teman-teman sesama wartawan. Lagi, di antara wartawan pun ada yang setuju RUU APP dan ada pula yang menolak.
Namun, ada pernyataan menarik dari obrolan itu. Begini, RUU APP itu diskriminatif dan melanggar budaya Timur yang selama ini dianut Indonesia. Lho kok? Ya begini jawab teman yang pengacara publik itu. Oh ya obrolan itu melibatkan juga Daniel Pandjaitan, pengacara publik yang pernah menjadi kuasa hukum redaktur Rakyat Merdeka Supratman.
Di Papua dan Indonesia bagian Timur sana, masyarakat masih banyak yang pake koteka dan bahkan telanjang bulat. Lalu bagaimana dengan ada Jawa yang perempuannya sering pakai kemben, di mana dadanya telihat jelas. Atau di Bali, yang masyarakatnya masih suka mandi di parit dengan telanjang. Apakah semua orang itu akan ditangkapi karena melanggar Undang-undang Antipornografi dan pornoaksi (kalau sudah disahkan)?
Saya tak menjawab. Saya hanya terdiam saja. Lontaran-lontaran pertanyaan itu baru saya dengar saat itu. Diskusi berhenti. Sang pengacara kembali menemui kliennya.
Nah, beda lagi dengan teman yang juga redaktur Rakyat Merdeka. Kata teman perempuan ini, anggota DPR itu munafik. Padahal mereka senang juga melihatnya.
Tapi, menurut saya itu pernyataan yang sentimentil. Adalah naluri manusia normal menyukai lawan jenisnya. Jangankan dibuka, ditutup pun, lelaki dan perempuan saling menyukai. Jadi bukan soal suka dan munafik.
Sewaktu-waktu saya bertemu dengan Ketua Umum Kohati PB HMI Betty Idroos. Dia bilang, prinsipnya dia setuju bahwa pornografi dan pornoaksi harus diatur. Tapi RUU APP masih sangat abstrak dan debateble.
Saya lantas bertanya pada diri sendiri, benarkah RUU APP itu diskriminatif, memojokkan dan menindas kaum perempuan, dan mengagungkan lelaki. Benarkah RUU APP itu menempatkan perempuan menjadi "Sumber Masalah." Ya seolah-olah, karena perempuanlah maka perkosaan, pelecehan seksual terjadi. Bukankah itu salah lelaki karena tidak bisa menahan birahi dan berkelakuan amoral.
Pertanyaan demi pertanyaan terus meluncur dan berkutat di otak kepala saya yang tidak seberapa besar ini. Benarkah ini? Salahkah itu?
Saya teringat pada mata rantai yang tak bisa ditentukan, apa yang lebih dulu. "Ayam dulu atau telur dulu, mana yang duluan."
Tapi untuk RUU APP ini saya berkesimpulan, pornografi dan pornoaksi harus dibatasi. Bukan siapa yang menyudutkan atau dan siapa yang disudutkan. Lelaki atau perempuan.
Teman-teman dari Indonesia bagian Timur, misalnya, ternyata juga lebih nyaman dengan berpakaian. Dulu, ketika informasi dan zaman tak secanggih sekarang, kita sangat nyaman dengan cara berpakain saat itu. Dulu para gadis merasa malu ketika dia memakai pakaian yang kekecilan dan merecet. Para ABG merasa malu kalau berpakaian, tapi pusarnya kelihatan, apalagi (maaf) payudaranya. Tapi sekarang, ya pusar, ya payudara dibiarkan melompong.
Lalu bagaimana dengan budaya berkemben itu? Dilarangkah? Setahu saya, orang-orang yang biasa berkemben adalah perempuan yang sudah tua-tua, atau paling tidak umurnya sudah paruh baya. Kalaupun ada anak gadis yang memakai kemben, itu juga potongan bahan pada wilayah payudaranya tidak terlalu lebar dan cenderung tidak menunjukkan belahan payudara itu.
kritis, konstruktif dan solutif