Daftar Pemilih Berkelanjutan atau DPB menjadi kewajiban baru yang harus dilakukan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Terutama, bagi penyelenggara Pemilu yang sekarang ini tidak menggelar Pilkada Serentak pada Desember 2020. Termasuk, KPU Kab/Kota Bekasi.
Kewajiban
implementasi DPB merupakan amanah UU No 7/2017 Pasal 14, 17 dan 20 huruf [l].
Disebutkan, KPU, KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota berkewajiban melakukan
pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan dengan
memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada kalimat “pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan”
ini kemudian disebut Daftar Pemilih Berkelanjutan [DPB].
Pada
Jumat [14/11/2020] lalu, Badan Pengawas Pemilu [Bawaslu] Kab Bekasi mengundang
saya untuk urun rembuk berdiskusi-mengevaluasi implementasi pemutakhiran dan
pemeliharaan DPB. Bawaslu Kab Bekasi, tentu saja berkewajiban melakukan
pengawasan terhadap kinerja KPU Kab Bekasi dalam implementasi DPB.
Model
Pendaftaran Pemilih
Terdapat
tiga model pendaftaran pemilih yang dikenal dalam literatur kepemiluan.
Pertama, periodic registry. Yaitu, proses pendaftaran pemilih hanya
dilakukan ketika akan diselenggarakan pemilu/pilkada. Dan data daftar
pemilihnya juga hanya berlaku untuk pemilu berjalan saja. Pemilu usai, daftar
pemilih pun tak lagi terpakai. Model ini, diterapkan dalam pemilu sepanjang
Orde Baru.
Kedua,
continuous registry. Yaitu, proses pendaftaran pemilih yang dilakukan
secara berkelanjutan. Dalam model ini, data daftar pemilih, meski sudah tidak
lagi menyelenggarakan pemilu/pilkada, masih dirawat dan dimutakhirkan secara
berkesinambungan untuk digunakan pada pemilu selanjutnya. Model ini pun pernah
diterapkan dengan istilah Pendaftaran Penduduk dan Pemilih Pemilu Berkelanjutan
[P4B] oleh KPU periode elektoral 2001-2007. Data daftar pemilih hasil P4B
digunakan untuk pemilu 2004 dan pilkada 2006.
Ketiga,
civil registry. Yaitu, proses pendaftaran pemilih berdasarkan data kependudukan.
Kita juga pernah menggunakan model ini. Bahkan, diregulasikan dalam UU No 10 Tahun
2008 dan UU No 8 Tahun 2012. Pada pemilu 2009 dan 2014, KPU menggunakan data
daftar pemilih dari Direktorat Jenderal Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil [Ditjen
Dukcapil] Kementerian Dalam Negeri [Kemendagri].
Berdasarkan
sejarah kepemiluan itu, pemutakhiran DPB dan pemeliharaan data daftar pemilih,
sesungguhnya bukanlah hal baru. Amanah UU No 7/2017 ini merupakan kontinuitas
dari proses pendaftaran pemilih pemilu/pilkada dengan konsep P4B [2001-2007] yang
diselaraskan dengan data Ditjen Dukcapil Kemendagri.
Paling
tidak, ada dua manfaat dari pemutakhiran DPB; 1] memudahkan proses pemutakhiran
dan penyusunan daftar pemilih untuk pemilu/pilkada berikutnya dan 2]
meningkatkan kualitas daftar pemilih yang hampir saban pemilu/pilkada selalu jadi
polemik. Daftar pemilih yang akurat-akuntabel, tentu juga beririsan dengan
kualitas pemilu/pilkada itu sendiri.
Benturan
Rezim Undang Undang
Kebijakan
pemutakhiran DPB ini sudah dikonkritisasi KPU terhitung Januari 2020. Dalam
konteks KPU Kab Bekasi, misalnya, sepanjang pengawasan Bawaslu Kab Bekasi,
sudah dilakukan pemutakhiran DPB secara berkala dan berkesinambungan. Uniknya,
saban pemutakhiran pada setiap bulannya, jumlah DPB selalu menyusut. Tidak
pernah bertambah.
Kenapa?
Soalnya, KPU Kab Bekasi tidak bisa mengakses data kependudukan. Satu-satunya
data yang bisa diakses adalah data kematian. Sementara data pemilih pemula
[yang baru berusia 17 tahun dan akibat perkawinan sehingga punya e-KTP], dan
orang pindah domisili ke Kab Bekasi tidak bisa diakses. Di sisi lain,
pemutakhiran DPB sesuai UU No 7/2017 Pasal 14, 17 dan 20 huruf [l] adalah
berdasarkan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dan yang memiliki otoritas mengakses data kependudukan adalah Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil [Disdukcapil].
Lantas,
apakah Disdukcapil melakukan pembangkangan? Nah, di sinilah yang perlu kajian
lebih komprehensif. Secara sederhana, dalam kaitannya dengan DPB, berlaku dua
rezim UU. Rezim UU No 7/2017 tentang Pemilu dan Rezim UU No 24/2013 perubahan
atas UU No 23/ 2006 tentang Administrasi Kependudukan [Adminduk]. Dalam UU No 7/2017
disebutkan, pemutakhiran DPB harus sesuai perundang-undangan. Tafsirnya, rezim
UU Pemilu taat pada rezim UU Adminduk.
Sementara
dalam UU Adminduk Pasal 79, ayat [3], sangat tegas disebutkan, petugas dan
pengguna dilarang menyebarluaskan data kependudukan yang tidak sesuai
kewenangannya. Pertanyaannya, boleh tidak KPU, KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota
yang notabene pengguna membuka akses adminduk? Lantas, kenapa data orang yang
sudah meninggal dibuka aksesnya?
Bagaimana
dengan ayat [4]? Peraturan Menteri Dalam Negeri No 102 Tahun 2019 tentang
Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan. Pada Pasal 4 ayat [1]
disebutkan, hak akses diberikan kepada petugas Disdukcapil Provinsi, petugas
Disdukcapil Kabupaten/kota dan Pengguna. Kemudian pada paragraf dua, persyaratan
dan tata cara pemberian hak akses bagi pengguna daerah provinsi dan kabupaten/kota
secara berjenjang disebutkan tahapan-tahapannya sehingga bisa mengakses data
kependudukan.
Hemat
saya, karena KPU Kab/Kota merupakan lembaga negara vertikal, sebaiknya yang
berkaitan dengan kerjasama akses data kependudukan dilakukan di tingkat pusat.
KPU RI perlu mematangkan teknis DBP secara internal, kemudian bekerjasama
dengan Kemendagri. Dan, petugas Dukcapil Kab/Kota, sebagai penerima delegasi Menteri
Dalam Negeri, wajib taat pada kerjasama tersebut. Tanpa adanya kerjasama
tersebut, rasanya mustahil pemutakhiran DPB di kab/kota bisa optimal.
Selain
akses data dari Disdukcapil, kerjasama juga harus dibangun dengan lembaga dan
institusi negara lainnya. Misalnya saja, TNI/Polri [terkait purnatugas],
pernikahan, dinas pendidikan terkait kelulusan siswa SMA/MA dan pemakaman. Sebab-sebab
pensiun [TNI/Polri], pernikahan dan usia 17 tahun menjadi berhak memilih pada
pemilu/pilkada. Dan sebab kematian, orang menjadi hilang haknya untuk memilih.
Dari
situ, baru poses teknis pemutakhiran DPB dilakukan. Mulai dari menerima masukan
para pihak, mencermati, memverifikasi dan mengeksekusi [mencoret dan meng-input
data pemilih]. Dan hasilnya diputuskan dalam rapat pleno terbuka. Begitu seterusnya
proses pemutakhiran DPB dilakukan pada setiap bulannya.
Dengan begitu, Bawaslu Kab/Kota dan seluruh elemen masyarakat bisa berpartisipasi mengawasi dan mengoreksi pemutakhiran DPB tersebut. Dan pengawasan yang dilakukan Bawaslu, bukan an sich pada hasil rekapitulasi pemutakhiran DPB setiap bulan, tapi juga pada proses verifikasi dan eksekusi [mencoret dan meng-input] data pemilih yang masuk. Waallhu’Alam
Telah diterbitkan di Radar Bekasi: https://radarbekasi.id/2020/11/16/tantangan-implementasi-dpb-pemilu/
kritis, konstruktif dan solutif