Disertasi Sdr Abdul Aziz tentang “Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital” yang dipertahankan di Pascasarjana UIN Yogyakarta telah viral di media sosial dan cukup meresahkan. Banyak media merilisnya dengan judul lebih tegas “Hubungan Seksual di Luar Pernikahan Tak Langgar Syariah”. Judul ini memang diambil secara inti dari abstraks Abdul Aziz yang gelisah karena hubungan nonmarital telah dikriminalisasi dalam kehidupan masyarakat. Kriminalisasi dan penggerebegan terhadap pelaku-pelaku seksual di luar nikah adalah melanggar HAM. Padahal, menurutnya mengutip Syahrur, ada 15 ayat di dalam al Quran yang membolehkannya. Dia bahkan dengan sangat yakin meminta agar negara mengurusi hubungan seks di luar nikah dan konsep milk al yamin menjadi pintu masuk bagi pembaruan Hukum Islam.
Saya ingin mengkritik kesimpulan-kesimpulan Abdul Aziz dan mendukung keberatan-keberatan penguji atas disertasi itu yang dianggap tidak jelas sikapnya atas tesis-tesis Syahrur. Dan disertasi ini oleh para penguji harus direvisi. Saya memahami mengapa Tim Penguji merasa perlu melakukan press conference. Hal ini dilakukan karena Disertasi yang bersifat ilmiah telah bergeser ke ranah publik melalui media sosial.
Tapi sebelum melakukan kritik itu, saya harus mengakui keawaman saya atas tema ini. Saya hanya pernah membaca empat buku Syahrur dan ini menjadi dasar argumen saya. Sebelum masuk ke inti kritik, saya tampilkan dulu fakta-fakta tentang Syahrur.
1). Syahrur adalah sarjana teknik yang analisis-analisisnya sering meminjam logika teknis. Dalam linguistik dia menganut ibn Jinni yang menolak sinonimitas. Dia mendekonstruksi kemapanan konsep yang dibangun para ulama, misalnya, soal definisi quran, al kitab, konsep waris, aurat, milk al yamin, dll. Soal milk al yamin yang mendasari kesimpulan Abdul Aziz maknanya diperluas bukan hanya budak milik tapi ke jenis-jenis perempuan yang analog sepanjang bersifat konsensual—termasuk nonmarital.
2). Syahrur selalu menganjurkan agar membaca al Quran secara langsung seolah-olah wahyu baru saja turun. Syahrur menolak pembacaan al Quran yang dibebani oleh tumpukan tafsir-tafsir.
3). Sahrur hidup dalam tradisi intelektual Eropa Timur, sehingga pikiran-pikirannya dipengaruhi, terutama dalam hukum keluarga, oleh tradisi Barat.
4). Analisis Sahrur diperkaya oleh pembacaan sejarah. Soal perbudakan, misalnya, dipengaruhi oleh praktik jual beli budak dari bangsa-bangsa yang ditaklukkan. Jika Spanyol, Mesir, Turki, Persia, ditaklukkan maka seluruh bangsa itu menjadi budak. Para tentara menjual budak-budak itu bahkan menghadiahkannya ke khalifah—praktik ini bukan hanya di Arab, tetapi juga dalam sejarah Yunani-Romawi. Syahrur, misalnya, menjelaskan mengapa budak perempuan auratnya sama dengan laki-laki dan tidak perlu berjilbab. Menurut Syahrur, budak-budak perempuan tak perlu berjilbab karena untuk menarik pembeli. Di masa khalifah Abasiyah dan Umayah praktik ini masih terjadi.
5). Syahrur tidak setuju konsep nash dan mansyukh atas ayat-ayat tertentu yang oleh para ulama diakui, termasuk ayat perbudakan.
6). Kesimpulan-kesimpulan Syahrur sejauh ini barulah gagasan-gagasan konseptual yang banyak dikritik dan masih terus didiskusikan, dll.
Dengan melihat fakta-fakta Syahrur di atas saya melakukan kritik atas kesimpulan Abdul Aziz.
1). Menjadikan tesis Syahrur untuk menghalalkan hubungan seksual di luar nikah adalah sangat lemah. Bertentangan dengan konsensus-konsensus para ulama yang sudah mapan.
2). Perbudakan yang oleh Syahrur dijadikan pijakan telah lama dihapus dan etika-etika moral hukum telah berevolusi ke arah kesetaraan jender.
3). Prinsip hukum Syariah bukanlah sekadar soal untung dan rugi; tapi soal etis dan tidak etis, soal akhlak. Meskipun hubungan seksual suka sama suka bukan pidana menurut KUHP kecuali diadukan (delik aduan), tetapi secara akhlak melanggar norma masyarakat. (Saya yakin jika anak-anak perempuan kita, atau mahasiswa-mahasiswa kita melakukan hubungan seksual di luar nikah, kita akan marah dan berusaha mencegahnya).
4). Bicara hukum keluarga adalah sangat sensitif. Karena hanya hukum keluargalah yang masih berlaku dari Hukum Syariah di seluruh dunia Muslim (pernikahan, talak, rujuk). Karena itu, perlu kabijakan tinggi dari setiap elit intelektual untuk berhati-hati dalam ucapan di ranah publik.
5). Menghalalkan secara Syariah hubungan seks di luar nikah (meski bersifat konsensual) dalam bentuk kesimpulan-kesimpulan disertasi dari studi tokoh sangatlah fatal. Ia bisa menjadi persetujuan ilmiah untuk kumpul kebo para mahasiswa di asrama, di kos-kosan, dan di masyarakat—meski praktik ini sudah marak terjadi.
6). Kesimpulan-kesimpulan Abdul Azis harus direvisi sesuai saran para penguji dan harus adil pandangan-pandangan yang kontra—agar meredakan kegaduhan di masyarakat.
7). Secara faktual hukum tertinggi Syariah adalah ijma’. Betapapun dalil-dalil hukum al Quran dan hadis berjejer menyertai argumen Syahrur atau siapapun itu tanpa mendapat persetujuan ijma akan dengan sendirinya runtuh dan tidak dapat diterima. Siapa yang setuju hubungan seksual di luar nikah halal di masyarakat Muslim?
8). Saat alm Nurcholish Madjid mengumandangkan desakralisasi atas selain Tuhan tahun 1970-an (?) atas dasar tauhid, beliaupun mengecualikan perkawinan. Selain Tuhan tidaklah sakral, profan. Tetapi perkawinan tetaplah sakral meski bukan Tuhan. Sebab jika desakralisasi berlaku bagi perkawinan, maka hubungan seksual manusia akan seperti binatang.
Akhirnya, saya setuju dengan pendapat bahwa seharusnya ilmu dikembangkan bukan sekadar ilmu untuk ilmu, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek nilai (value bond).
Namun begitu, disertasi Sdr Abdul Aziz yang sebenarnya sudah banyak dibahas tetap dianggap sebagai karya ilmiah. Subyektivitas, pilihan-pilihan kesimpulan, kecenderungan filsafat, pandangan dunia yang dianut, bahkan pengalaman-pengalaman pribadi (jika ada), pastilah banyak mewarnai disertasi ini.
Karena itu, perlakukan disertasi ini sebagai karya ilmiah yang belum selesai dan bukan finalitas. Ia terus berdialog dengan sejarah. Masyarakatpun tidak boleh mengkriminalisasi penulis, para penguji disertasi, dan institusi. Ketidaksetujuan kita atas kesimpulan-kesimpulan Syahrur dan Abdul Aziz sebagaimana viral di sejumlah media haruslah dengan cara-cara yang ilmiah juga. Dengan cara ini, kebebasan berpendapat (freedom of speech) tetap berlangsung dengan terus menjaga tatakrama bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh: Mudofir Abdullah, Guru Besar Ilmu Pengkajian Islam dan Rektor IAIN Surakarta
Sumber : Solopos 3 September 2019
Saya ingin mengkritik kesimpulan-kesimpulan Abdul Aziz dan mendukung keberatan-keberatan penguji atas disertasi itu yang dianggap tidak jelas sikapnya atas tesis-tesis Syahrur. Dan disertasi ini oleh para penguji harus direvisi. Saya memahami mengapa Tim Penguji merasa perlu melakukan press conference. Hal ini dilakukan karena Disertasi yang bersifat ilmiah telah bergeser ke ranah publik melalui media sosial.
Tapi sebelum melakukan kritik itu, saya harus mengakui keawaman saya atas tema ini. Saya hanya pernah membaca empat buku Syahrur dan ini menjadi dasar argumen saya. Sebelum masuk ke inti kritik, saya tampilkan dulu fakta-fakta tentang Syahrur.
1). Syahrur adalah sarjana teknik yang analisis-analisisnya sering meminjam logika teknis. Dalam linguistik dia menganut ibn Jinni yang menolak sinonimitas. Dia mendekonstruksi kemapanan konsep yang dibangun para ulama, misalnya, soal definisi quran, al kitab, konsep waris, aurat, milk al yamin, dll. Soal milk al yamin yang mendasari kesimpulan Abdul Aziz maknanya diperluas bukan hanya budak milik tapi ke jenis-jenis perempuan yang analog sepanjang bersifat konsensual—termasuk nonmarital.
2). Syahrur selalu menganjurkan agar membaca al Quran secara langsung seolah-olah wahyu baru saja turun. Syahrur menolak pembacaan al Quran yang dibebani oleh tumpukan tafsir-tafsir.
3). Sahrur hidup dalam tradisi intelektual Eropa Timur, sehingga pikiran-pikirannya dipengaruhi, terutama dalam hukum keluarga, oleh tradisi Barat.
4). Analisis Sahrur diperkaya oleh pembacaan sejarah. Soal perbudakan, misalnya, dipengaruhi oleh praktik jual beli budak dari bangsa-bangsa yang ditaklukkan. Jika Spanyol, Mesir, Turki, Persia, ditaklukkan maka seluruh bangsa itu menjadi budak. Para tentara menjual budak-budak itu bahkan menghadiahkannya ke khalifah—praktik ini bukan hanya di Arab, tetapi juga dalam sejarah Yunani-Romawi. Syahrur, misalnya, menjelaskan mengapa budak perempuan auratnya sama dengan laki-laki dan tidak perlu berjilbab. Menurut Syahrur, budak-budak perempuan tak perlu berjilbab karena untuk menarik pembeli. Di masa khalifah Abasiyah dan Umayah praktik ini masih terjadi.
5). Syahrur tidak setuju konsep nash dan mansyukh atas ayat-ayat tertentu yang oleh para ulama diakui, termasuk ayat perbudakan.
6). Kesimpulan-kesimpulan Syahrur sejauh ini barulah gagasan-gagasan konseptual yang banyak dikritik dan masih terus didiskusikan, dll.
Dengan melihat fakta-fakta Syahrur di atas saya melakukan kritik atas kesimpulan Abdul Aziz.
1). Menjadikan tesis Syahrur untuk menghalalkan hubungan seksual di luar nikah adalah sangat lemah. Bertentangan dengan konsensus-konsensus para ulama yang sudah mapan.
2). Perbudakan yang oleh Syahrur dijadikan pijakan telah lama dihapus dan etika-etika moral hukum telah berevolusi ke arah kesetaraan jender.
3). Prinsip hukum Syariah bukanlah sekadar soal untung dan rugi; tapi soal etis dan tidak etis, soal akhlak. Meskipun hubungan seksual suka sama suka bukan pidana menurut KUHP kecuali diadukan (delik aduan), tetapi secara akhlak melanggar norma masyarakat. (Saya yakin jika anak-anak perempuan kita, atau mahasiswa-mahasiswa kita melakukan hubungan seksual di luar nikah, kita akan marah dan berusaha mencegahnya).
4). Bicara hukum keluarga adalah sangat sensitif. Karena hanya hukum keluargalah yang masih berlaku dari Hukum Syariah di seluruh dunia Muslim (pernikahan, talak, rujuk). Karena itu, perlu kabijakan tinggi dari setiap elit intelektual untuk berhati-hati dalam ucapan di ranah publik.
5). Menghalalkan secara Syariah hubungan seks di luar nikah (meski bersifat konsensual) dalam bentuk kesimpulan-kesimpulan disertasi dari studi tokoh sangatlah fatal. Ia bisa menjadi persetujuan ilmiah untuk kumpul kebo para mahasiswa di asrama, di kos-kosan, dan di masyarakat—meski praktik ini sudah marak terjadi.
6). Kesimpulan-kesimpulan Abdul Azis harus direvisi sesuai saran para penguji dan harus adil pandangan-pandangan yang kontra—agar meredakan kegaduhan di masyarakat.
7). Secara faktual hukum tertinggi Syariah adalah ijma’. Betapapun dalil-dalil hukum al Quran dan hadis berjejer menyertai argumen Syahrur atau siapapun itu tanpa mendapat persetujuan ijma akan dengan sendirinya runtuh dan tidak dapat diterima. Siapa yang setuju hubungan seksual di luar nikah halal di masyarakat Muslim?
8). Saat alm Nurcholish Madjid mengumandangkan desakralisasi atas selain Tuhan tahun 1970-an (?) atas dasar tauhid, beliaupun mengecualikan perkawinan. Selain Tuhan tidaklah sakral, profan. Tetapi perkawinan tetaplah sakral meski bukan Tuhan. Sebab jika desakralisasi berlaku bagi perkawinan, maka hubungan seksual manusia akan seperti binatang.
Akhirnya, saya setuju dengan pendapat bahwa seharusnya ilmu dikembangkan bukan sekadar ilmu untuk ilmu, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek nilai (value bond).
Namun begitu, disertasi Sdr Abdul Aziz yang sebenarnya sudah banyak dibahas tetap dianggap sebagai karya ilmiah. Subyektivitas, pilihan-pilihan kesimpulan, kecenderungan filsafat, pandangan dunia yang dianut, bahkan pengalaman-pengalaman pribadi (jika ada), pastilah banyak mewarnai disertasi ini.
Karena itu, perlakukan disertasi ini sebagai karya ilmiah yang belum selesai dan bukan finalitas. Ia terus berdialog dengan sejarah. Masyarakatpun tidak boleh mengkriminalisasi penulis, para penguji disertasi, dan institusi. Ketidaksetujuan kita atas kesimpulan-kesimpulan Syahrur dan Abdul Aziz sebagaimana viral di sejumlah media haruslah dengan cara-cara yang ilmiah juga. Dengan cara ini, kebebasan berpendapat (freedom of speech) tetap berlangsung dengan terus menjaga tatakrama bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh: Mudofir Abdullah, Guru Besar Ilmu Pengkajian Islam dan Rektor IAIN Surakarta
Sumber : Solopos 3 September 2019
kritis, konstruktif dan solutif