PAPARAN visi misi pasangan
calon walikota dan wakil walikota tentang pembangunan SDM, sosal, dan ekonomi
pada debat terbuka yang digelar di
gedung Serbaguna al Muhajirin, Kota Bekasi, Rabu [11/4] sebenarnya normatif saja. Masing-masing
pasangan calon menyajikan pemikirian dan kesiapan membawa Kota Bekasi lebih
maju lagi dengan pemerintahan yang transparan, akuntabel, aman dan damai serta
kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Yang menarik dicermati justru umbaran masing-masing pasangan calon untuk menarik simpati
pemilih pada pencoblosan 27 Juni mendatang. Setidaknya, ada dua isu yang ‘tik-tok’ pada debat itu. Yaitu, klaim restu tokoh
kharismatik Bekasi [almarhum] KH Noer Alie dan kebijakan pembangunan gereja.
Magnet KH Noer Alie
Pejuang Indonesia, KH Noer Alie harum namanya. Tokoh kharismatik ini
memiliki pengaruh yang luar biasa di zamannya. Bahkan, sampai sekarang, di kalangan politisi, atau siapa
saja yang memiliki keinginan mulia memimpin pemerintahan Bekasi
[Kabupaten/Kota], baik sebagai walikota, bupati sampai kepala desa, terasa hambar
bila belum berziarah ke makam pejuang dan bersilaturrahmi dengan penerus pesantren At-Taqwa itu.
Tak heran, pada perhelatan Pilkada Walikota Bekasi 2018 ini, pasangan
calon berziarah ke makam KH Noer Alie dan bersilaturrahmi dengan penerusnya. Pasangan nomor urut 2,
misalnya, berilaturrahmi dengan generasi pertama KH Noer Alie, KH Amin Noer pada Selasa [9/1]
lalu. Begitupun
dengan petahana Rahmat Effendi,
dua hari [9/4] jelang debat terbuka, juga bersilaturrahmi dengan KH Amin Noer.
Tidak berhenti pada ziarah dan silaturrahmi, kebesaran KH Noer Alie terbawa sampai pada forum debat paslon calon walikota dan wakil walikota.
Masing-masing paslon mengklaim diri paling direstui sehingga merasa paling
berwenang "menjual" nama besar KH Noer Alie. Lagi, ini adalah bukti
bawa magnet KH Noer Alie di kalangan politisi tidak pernah luntur.
Lantas,
apakah klaim paslon itu bisa mengerek elektabilitas? Saya akan menyajikan data-data sejauh mana, strategi dagang para
paslon ini bisa berdampak pada keterpilihan mereka.
Kota Bekasi dengan luas 210,49 km2, telah menjadi kota urban dan sangat heterogen. Baik suku, agama, ras dan golongan. Data BPS 2017, penduduk Kota Bekasi
mencapai 2.803.283
juta jiwa dengan rasio jenis kelamin 101.70. Suku terbesar adalah Jawa 33 persen, asli Kota Bekasi 28
persen, Sunda 18 persen dan lain-lain 21 persen.
Dari
sisi agama, Islam [2.141.407 jiwa], Kristen [195.985 jiwa], Katolik [71.770 jiwa], Hindu [27.952 jiwa], Budha [22.492 jiwa], Konghucu [201 jiwa] dan Aliran Kepercayaan
[1.586 jiwa]
[BPS, 2015]. Dari sisi
usia, [15-39]
sebanyak 1.344.863
jiwa, [40-59] sebanyak 595.576 jiwa dan 60 tahun ke atas sebanyak 112.585 jiwa.
Berdasarkan
data tersebut, bisa diprediksi sejauh mana tingkat penetrasi kampanye dengan menjadikan
alm KH Noer Alie sebagai magnet. Belum lagi, fakta bahwa heterogenitas dan
urbanitas Kota Bekasi telah melunturkan kultur masyarakat Bekasi. Ditambah
lagi, sekolah-sekolah formal yang tidak memberikan ruang untuk mata pelajaran
lokal kebekasian sehingga semakin menisbikan generasi muda Bekasi jauh dari
sejarah dan kultur kotanya.
Pembangunan
Gereja
Isu
kedua yang juga menjadi ‘tik-tok’ antar paslon walikota dan wakil walikota
adalah polemik pembangunan gereja. Polemik pembangunan gereja yang paling
krusial ada di Wilayah Bekasi Utara, Jaka Sampurna dan Ciketing. Dan yang
paling ‘rusuh’ adalah pembangunan gereja St. Clara di Bekasi Utara.
Topik
pembangunan gereja, pada wilayah lebih makro bisa ditarik dalam topik toleransi
beragama. Mengangkat isu ini dalam debat bukan berarti tengah memainkan isu
SARA. Tidak sama sekali. Pembangunan gereja merupakan kebijakan riil pemerintah
daerah. Begitupun, mengkritisi pembangunan gereja juga bagian dari peran serta
masyarakat. Apalagi, dalam debat itu, juga dipaparkan alasan mengkritisi dan
alasan tetap melanjutkan pembangunan gereja.
Saya
tidak akan membahas apakah pembangunan gereja di Bekasi konstitusional atau
tidak. Saya hanya akan memaparkan, apakah isu pembangunan gereja dalam kampanye
paslon walikota dan wakil walikota akan berdampak pada eletabilitas atau tidak.
Data hasil survei Bekasi Institute pada 2017 lalu. Isu
pembangunan gereja St. Clara tidak populer. Hanya 43.1 persen responden
yang menyatakan pernah mendengar kabar mengenai pembangunan gereja Santa Clara di
Bekasi Utara yang mendapat penolakan keras dari sekelompok masyarakat.
Fakta lainnya, sebanyak 49.7 persen juga menyatakan tidak
setuju dengan kebijakan Walikota Bekasi yang
menolak mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pembangunan Gereja Santa Clara.
Uniknya,
sebanyak 37.6 persen responden menanggapi biasa saja kebijakan pembangunan gereja St. Clara. Hanya 20.6 persen responden
yang menyatakan pembangunan gereja St. sangat berpengaruh dan 26.3 persen
persen berpengaruh pada pilihan pencoblosan pilkada. Sebanyak 15.2 persen
menyatakan tidak berpengaruh dan 1.8 persen responden menyatakan tidak
berpengaruh sama sekali. Dan sebanyak 8.5 persen responden tidak menjawab.
Penutup
Tik-tok
isu; magnet KH Noer Alie dan pembangunan gereja membuktikan bahwa antar paslon
walikota dan wakil walikota Bekasi sangat terbuka. Keduanya telihat educated
menanggapi kritik. Bahkan, sangat suasana debat saat itu sangat cair.
Lantas
apakah dua isu yang menjadi tik-tok dalam debat itu bisa menambah elektabilitas
suara. Silakan diutak-atik sendiri data yang sudah dipaparkan, di samping masih
ada faktor lain.
Oleh :
Abdul Shomad Kaffa, MA
[Panelis Debat Calon Walikota dan Wakil Walikota Bekasi Pilkada Serentak 2018, Direktur Eksekutif Bekasi Institute, Center for Public Policy Research and Empowerment] dan Dosen FISIP Unisma Bekasi.
kritis, konstruktif dan solutif