INDUSTRI [TAK] BIKIN SEJAHTERA

Tim Redaksi
0
PERTUMBUHAN industri di Kabupaten Bekasi berkembang pesat. Hampir separuh wilayah di jantung kota pejuang ini ditumbuhi industri, bahkan berskala multinasional. Sayangnya, industri-industri itu belum bisa mensejahterakan masyarakat Kabupaten Bekasi. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bekasi (2013) mencatat terdapat 864 perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Bekasi.


Sementara data Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) pada 2013, realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) mencapai Rp 93 triliun. Investasi PMA mencapai 2.624 unit (61,12%) dan PMDN sebanyak 1.669 unit (38,88%).
Industri-industri itu dikavling dalam 18 kawasan, seperti Kawasan Jababeka, MM 2100, EJIP, Delta Mas, Lippo Cikarang, Hyundai, dan Bekasi Fajar. Selain berada di kawasan, masih ada industri yang tercerai berai, seperti di Tambun Selatan dan wilayah utara. Menyebarnya beberapa industri di wilayah utara karena memang pemerintah daerah mengalokasikan daerah ini untuk pertumbuhan industri juga.
Pertanyaan besarnya adalah, sudahkah jumlah industri itu bermanfaat besar bagi pembangunan Kabupaten Bekasi? Sudahkah masyarakat Kabupaten Bekasi sejahtera dengan kehadiran industri-industri itu?
Tak Berbanding Lurus
Teori Ekonomi Pembangunan yang sangat terkenal; trickle down effect, secara kasat mata dan secara mentah-mentah diterapkan dalam pembangunan di Kabupaten Bekasi. Pemerintah daerah dengan pintu terbuka lebar mengundang industri masuk. Dengan menghadirkan industri sebanyak-banyaknya, pemerintah Kabupaten Bekasi berharap mendapat "berkah."
Di antara keberkahan yang ingin diraup adalah pembangunan di Kabupaten Bekasi bisa lebih cepat. Tingkat ekonomi dan penghasilan masyarakat terkerek dan bahkan bisa hidup sejahtera. Fasilitas kesehatan tercukupi hingga tak keleleran jika harus sakit dan butuh perawatan. Begitupun pendidikan, bisa belajar bukan saja wajib sekolah 12 tahun, tapi sampai sarjana.
Faktanya, harapan mengala berkah itu jauh panggang dari api. Harapan tinggal harapan. Yang tampak nyata adalah industri terus tumbuh. Di saat yang sama, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bekasi bergerak lamban. Pembangunan hanya tumplek di kawasan-kawasan industri di atas aja.
Bahkan, masyarakat di sekitar industri pun terpaksa hengkang. Uang hasil jual tanah kepada industri, habis untuk konsumtif. Keahlian yang dari semula bertani tak lagi dibutuhkan di kebun-kebun industri itu. Beruntung masyarakat yang masih punya kontrakan, sehingga masih bisa menggantungkan hidup dari hasil sewa kepada para buruh industri.
Di daerah pinggiran Kabupaten Bekasi, masyarakat asli yang notabene petani terus kehilangan kebun, sawah dan ladangnya. Pembangunan yang fokus pada industri telah mengabaikan sektor pertanian. Sawah dan ladang tidak bisa diairi, karena sumber airnya tidak diurus dan irigasinya rusak. Sementara hidup harus terus berjalan, anak-istri mesti makan, termasuk juga sekolah. Dalam kondisi itu, yang bisa dilakukan masyarakat pinggiran adalah menggadaikan aset (termasuk sawah), bahkan menjualnya.
Tinggallah masyarakat pinggiran menjadi buruh tani. Masih mending jika masih menjadi petani penggarap, karena berarti masih punya penghasilan 'arep-arepan' ketika masa panen. Nasib mereka tambah sengsara, selain sudah tidak punya aset, sumber daya alam (SDA) yang gratis pun tergerus punah. Sungai tak lagi ada ikan, kerang, dan udang karena airnya dipenuhi limbah industri. 
Optimalisasi Kearifan Lokal.
Sekarang ini, jumlah siswa SLTA di Kabupaten Bekasi hanya 53,82 persen. Jumlah terbanyak ada di tingkat pendidikan SD yang mencapai 98,89 persen. Sementara partisipasi pendidikan untuk D3 dan S1 lebih sedikit lagi. Apalagi untuk partisipasi pendidikan lebih tinggi lagi, tentu masih bisa dihitung dengan jari.
Untuk sektor kesehatan pun masih berada di garis merah. Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini, di Kabupaten Bekasi masih ada masyarakat yang melahirkan dengan dibantu bidan beranak. Angkanya cukup fantastis. Bayi yang kelahirannya dibantu dukun beranak mencapai 16,87 persen. Sementara masyarakat yang bisa mengakses puskesmas hanya 22,27 persen.
Indikator itu pertanda pertumbuhan industri tidak membawa pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di wilayah Kabupaten Bekasi secara signifikan. Pembangunan industri yang diharapkan bisa memberikan 'trickle down effect' tidak berjalan sempurna, dan sangat lambat. Dengan kondisi itu, mestinya para stakeholder Kabupaten Bekasi bisa mengubah haluan pembangunan. 
Ke depan, pembangunan tidak boleh hanya dititikberatkan pada masuknya sektor industri. Dari 23 kecamatan dengan 5 kelurahan dan 182 desa di Kabupaten Bekasi, masih banyak potensi alam dan kearifan lokal yang bisa digali dan dikembangkan dalam konteks memeratakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Di antaranya adalah situs-situs sejarah kemerdekaan, pantai, tambak dan pemancingan iklan alami serta hutan mangrove.
Optimalisasi potensi alam dan kearifan lokal juga, selain dapat memeratakan pembangunan, juga memelihara kebudayaan asli masyarakat Bekasi. Optimalisasi potensi alam dan kearifan lokal tidak menggusur, tetapi juga tidak anti teknologi. Masyarakat diberdayakan, diarahkan, dibebaskan berkembang dan berkreasi secara konstruktif. Di sisi lain, pemerintah juga mengaktuasi, memonitor dan mengevaluasi secara berkesinambungan.
Penutup
Sejak pemekaran pada 2001, industri di Kabupaten Bekasi terus bejibun. Kehadiran industri mestinya tidak menjadi bencana bagi pemerintah daerah dan juga masyarakat Bekasi. Kehadiran industri nasional dan multinasional itu harus menjadi berkah bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Bekasi.
Pemerintah daerah punya kewajiban untuk mengatur regulasi, enjadikan industri bermanfaat bagi masyarakat Kabupaten Bekasi. Ketimpangan pembangunan antara jantung kota Kabupaten Bekasi dan wilayah pinggiran juga harus dikikis, bahkan dihilangkan sama sekali.
Kesenjangan tidak boleh dibiarkan, apalagi sampai menunggu terjadi gap yang sangat lebar, karena terlalu besar risiko yang akan ditanggung. Pemerintah daerah tidak boleh lagi hanya memfokuskan pandangan pada kehadiran industri di jantung kota. Ingatlah, wilayah Kabupaten tidak hanya itu, ada 182 desa yang perlu juga dipercepat pembangunannya. Ayo bekerja komprehensif, tanpa diskriminasi. 

Oleh: Abdul Shomad Kaffa, M.A [Direktur Eksekutif Bekasi Institute dan Dosen FISIP Unisma Bekasi]. Tulisan ini pernah dimuat di Harian Radar Bekasi, Edisi Senin (11/4/2016) di Halaman 3


Tags

Posting Komentar

0Komentar

kritis, konstruktif dan solutif

Posting Komentar (0)