PERTUMBUHAN industri di Kabupaten Bekasi berkembang pesat.
Hampir separuh wilayah di jantung kota pejuang ini ditumbuhi industri, bahkan
berskala multinasional. Sayangnya, industri-industri itu belum bisa
mensejahterakan masyarakat Kabupaten Bekasi. Badan Pusat Statistik (BPS)
Kabupaten Bekasi (2013) mencatat terdapat 864 perusahaan yang beroperasi di
Kabupaten Bekasi.
Oleh: Abdul Shomad Kaffa, M.A [Direktur Eksekutif Bekasi Institute dan Dosen FISIP Unisma Bekasi]. Tulisan ini pernah dimuat di Harian Radar Bekasi, Edisi Senin
(11/4/2016) di Halaman 3
Sementara data Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan
Terpadu (BPMPPT) pada 2013, realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) dan
penanaman modal dalam negeri (PMDN) mencapai Rp 93 triliun. Investasi PMA
mencapai 2.624 unit (61,12%) dan PMDN sebanyak 1.669 unit (38,88%).
Industri-industri itu dikavling dalam 18 kawasan, seperti
Kawasan Jababeka, MM 2100, EJIP, Delta Mas, Lippo Cikarang, Hyundai, dan Bekasi
Fajar. Selain berada di kawasan, masih ada industri yang tercerai berai,
seperti di Tambun Selatan dan wilayah utara. Menyebarnya beberapa industri di
wilayah utara karena memang pemerintah daerah mengalokasikan daerah ini untuk
pertumbuhan industri juga.
Pertanyaan besarnya adalah, sudahkah jumlah industri itu
bermanfaat besar bagi pembangunan Kabupaten Bekasi? Sudahkah masyarakat
Kabupaten Bekasi sejahtera dengan kehadiran industri-industri itu?
Tak Berbanding Lurus
Teori Ekonomi Pembangunan yang sangat terkenal; trickle down
effect, secara kasat mata dan secara mentah-mentah diterapkan dalam pembangunan
di Kabupaten Bekasi. Pemerintah daerah dengan pintu terbuka lebar mengundang
industri masuk. Dengan menghadirkan industri sebanyak-banyaknya, pemerintah
Kabupaten Bekasi berharap mendapat "berkah."
Di antara keberkahan yang ingin diraup adalah pembangunan di
Kabupaten Bekasi bisa lebih cepat. Tingkat ekonomi dan penghasilan masyarakat
terkerek dan bahkan bisa hidup sejahtera. Fasilitas kesehatan tercukupi hingga
tak keleleran jika harus sakit dan butuh perawatan. Begitupun pendidikan, bisa belajar
bukan saja wajib sekolah 12 tahun, tapi sampai sarjana.
Faktanya, harapan mengala berkah itu jauh panggang dari api.
Harapan tinggal harapan. Yang tampak nyata adalah industri terus tumbuh. Di
saat yang sama, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bekasi
bergerak lamban. Pembangunan hanya tumplek di kawasan-kawasan industri di atas
aja.
Bahkan, masyarakat di sekitar industri pun terpaksa hengkang.
Uang hasil jual tanah kepada industri, habis untuk konsumtif. Keahlian yang
dari semula bertani tak lagi dibutuhkan di kebun-kebun industri itu. Beruntung
masyarakat yang masih punya kontrakan, sehingga masih bisa menggantungkan hidup
dari hasil sewa kepada para buruh industri.
Di daerah pinggiran Kabupaten Bekasi, masyarakat asli yang
notabene petani terus kehilangan kebun, sawah dan ladangnya. Pembangunan yang
fokus pada industri telah mengabaikan sektor pertanian. Sawah dan ladang tidak
bisa diairi, karena sumber airnya tidak diurus dan irigasinya rusak. Sementara
hidup harus terus berjalan, anak-istri mesti makan, termasuk juga sekolah.
Dalam kondisi itu, yang bisa dilakukan masyarakat pinggiran adalah menggadaikan
aset (termasuk sawah), bahkan menjualnya.
Tinggallah masyarakat pinggiran menjadi buruh tani. Masih
mending jika masih menjadi petani penggarap, karena berarti masih punya
penghasilan 'arep-arepan' ketika masa panen. Nasib mereka tambah sengsara,
selain sudah tidak punya aset, sumber daya alam (SDA) yang gratis pun tergerus
punah. Sungai tak lagi ada ikan, kerang, dan udang karena airnya dipenuhi
limbah industri.
Optimalisasi Kearifan Lokal.
Sekarang ini, jumlah siswa SLTA di Kabupaten Bekasi hanya 53,82
persen. Jumlah terbanyak ada di tingkat pendidikan SD yang mencapai 98,89
persen. Sementara partisipasi pendidikan untuk D3 dan S1 lebih sedikit lagi.
Apalagi untuk partisipasi pendidikan lebih tinggi lagi, tentu masih bisa
dihitung dengan jari.
Untuk sektor kesehatan pun masih berada di garis merah. Di era
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini, di Kabupaten Bekasi masih ada masyarakat
yang melahirkan dengan dibantu bidan beranak. Angkanya cukup fantastis. Bayi
yang kelahirannya dibantu dukun beranak mencapai 16,87 persen. Sementara
masyarakat yang bisa mengakses puskesmas hanya 22,27 persen.
Indikator itu pertanda pertumbuhan industri tidak membawa
pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di wilayah Kabupaten Bekasi secara
signifikan. Pembangunan industri yang diharapkan bisa memberikan 'trickle down
effect' tidak berjalan sempurna, dan sangat lambat. Dengan kondisi itu,
mestinya para stakeholder Kabupaten Bekasi bisa mengubah haluan
pembangunan.
Ke depan, pembangunan tidak boleh hanya dititikberatkan pada
masuknya sektor industri. Dari 23 kecamatan dengan 5 kelurahan dan 182 desa di
Kabupaten Bekasi, masih banyak potensi alam dan kearifan lokal yang bisa digali
dan dikembangkan dalam konteks memeratakan pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat. Di antaranya adalah situs-situs sejarah kemerdekaan, pantai, tambak
dan pemancingan iklan alami serta hutan mangrove.
Optimalisasi potensi alam dan kearifan lokal juga, selain dapat
memeratakan pembangunan, juga memelihara kebudayaan asli masyarakat Bekasi.
Optimalisasi potensi alam dan kearifan lokal tidak menggusur, tetapi juga tidak
anti teknologi. Masyarakat diberdayakan, diarahkan, dibebaskan berkembang dan
berkreasi secara konstruktif. Di sisi lain, pemerintah juga mengaktuasi,
memonitor dan mengevaluasi secara berkesinambungan.
Penutup
Sejak pemekaran pada 2001, industri di Kabupaten Bekasi terus
bejibun. Kehadiran industri mestinya tidak menjadi bencana bagi pemerintah
daerah dan juga masyarakat Bekasi. Kehadiran industri nasional dan
multinasional itu harus menjadi berkah bagi pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat Bekasi.
Pemerintah daerah punya kewajiban untuk mengatur regulasi,
enjadikan industri bermanfaat bagi masyarakat Kabupaten Bekasi. Ketimpangan
pembangunan antara jantung kota Kabupaten Bekasi dan wilayah pinggiran juga
harus dikikis, bahkan dihilangkan sama sekali.
Kesenjangan tidak boleh dibiarkan, apalagi sampai menunggu terjadi
gap yang sangat lebar, karena terlalu besar risiko yang akan ditanggung.
Pemerintah daerah tidak boleh lagi hanya memfokuskan pandangan pada kehadiran
industri di jantung kota. Ingatlah, wilayah Kabupaten tidak hanya itu, ada 182
desa yang perlu juga dipercepat pembangunannya. Ayo bekerja komprehensif, tanpa
diskriminasi.
kritis, konstruktif dan solutif